Paket SOP Toko Retail Modern

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : SOP Toko Retail Modern.

Key Performance Indicator (KPI)

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : Key Performance Indicator (KPI).

Konsultan SOP Perusahaan

Master SOP adalah Konsultan SOP dan Sistem Bisnis untuk bisnis yang Autopilot.

Paket SOP Garmen / Konveksi

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : SOP Garmen / Konveksi.

Paket SOP Resto Modern

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : SOP Resto Modern.

Friday, 24 December 2010

Rahasia di Balik Obat Semprot Pada Pemain Bola

Para penggemar sepakbola tentu sering menyaksikan pemain yang cedera mendapat semprotan obat. Lalu, beberapa saat kemudian pemain itu sudah bisa berlari kembali mengejar bola. Sebenarnya sehebat apa sih obat spray itu?
Semprotan biasanya diberikan pada mata kaki, Achilles, tulang kering, lutut yang baru saja terkilir.
“Obat semprot itu merupakan chlor etil, bahan kimia yang pada saat bersentuhan dengan kulit menimbulkan reaksi dingin. Rasa dingin itu dipakai sebagai pereda sakit, namun sebenarnya juga berfungsi untuk menghentikan perdarahan,”

Kadang-kadang, obat semprot itu manjur seperti bayamnya Popeye, kadang-kadang hanya berfungi sebagai pengobatan sementara sebelum si pemain diangkut dengan stretcher, tetapi sejauh ini, obat semprot ini adalah andalan utama dalam pengobatan kilat di lapangan.

Jadi, apakah obat semprot chlor etil itu?

Well, seperti yang dijelaskan Slate’s piece on the matter pada tahun 2006, sebenarnya ada beberapa “obat semprot ajaib” yang digunakan, tergantung masalah dan situasinya.

Mereka boleh jadi menggunakan air dingin, misalnya, untuk mendinginkan seorang atlit yang overheated. Atau boleh jadi mereka menyemprotkan sebuah abrasi dengan sebuah larutan benzoin sehingga mereka bisa menempelkan perban pada kulit yang berkeringat. Kuat dugaan sebagian obat semprot kaleng itu mengandung “pendingin kulit,” zat kimia seperti ethyl chloride yang berfungsi mendinginkan dan meredam permukaan kulit ketika terjadi kontak.

Pendingin kulit mempunyai fungsi sebagai alat bius singkat yang bisa, secara sementara, meredam rasa sakit yang timbul akibat stud marks pada mata kaki, atau, paling tidak, membuat si pemain berpikir bahwa obat itu berguna. Dan, ketika obat itu tidak mampu untuk mengatasi cedera serius seperti, katakanlah, cedera ligamen pada lutut atau cedera akibat tembakan bola keras ke dada, kiranya pertolongan yang sementara itu cukup berguna untuk membawa sang pemain kembali ke lapangan.

Tentu saja, ketika terjadi cedera parah seperti itu, obat semprot tersebut tidak lagi tampak ajaib, melainkan hanya sekedar obat semprot biasa.

Menurut dr.Michael, penggunaan chlor etil merupakan bagian dari penanganan cedera yang disebut RICE (Rest, Ice, Compression dan Elevation). “Ice atau kompres dingin hanyalah salah satu faktor karena sifatnya urgent. Setelah pertandingan, tiga faktor lainnya dilakukan, yakni pemain harus beristirahat, bagian yang cedera dibebat dan menaikkan bagian tubuh yang cedera lebih tinggi untuk mengurangi nyeri dan bengkak,” katanya.

Pada atlet, penanganan cedera juga ditambah dengan obat-obatan, fisioterapi, serta sport teraphy untuk penguatan otot-otot dan peregangan agar ototnya kembali lentur.
(dari berbagai sumber)
.::.

Saturday, 18 December 2010

Apakah Masih Ada Manfaatnya?

“Seminar ini tidak mengubah apa-apa”, kata seorang wanita peserta Seminar Nasional yang digelar Lemhannas RI tadi pagi (09/12/2010). “Ada, walaupun sedikit”, jawab Kombes Pol Suko Raharjo yang menjadi mitra bicaranya.
Saya sering mendengar ungkapan seperti itu. Ungkapan keputusasaan, kegelisahan, kekecewaan, dan tiada harapan.

John Rambo pernah mengucapkan kalimat seperti itu kepada rombongan misionaris gereja di bawah pimpinan Michael Burnet dan Sarah Miller, yang akan berangkat ke Myanmar. “Kamu tidak akan mengubah apapun”, kata Rambo. Namun para misionaris tetap berkeyakinan ada yang bisa mereka perbuat di Myanmar. Tapi ini terjadi di film Rambo IV.

Dalam kehidupan keseharian di tanah air kita, terlalu banyak kekecewaan dan keputusasaan masyarakat menghadapi realitas yang sulit berubah. Sikap apatis muncul dari kondisi seperti ini, sehingga banyak corak praktis dan pragmatis yang mewarnai pola hidup masyarakat. Dalam Pemilihan Umum untuk Anggota Legislatif misalnya, banyak masyarakat memilih berdasarkan transaksi praktis, karena mereka sudah tidak percaya bahwa akan ada perubahan mendasar. Siapapun yang menjadi anggota legislatif, hasilnya sama saja. Itu cara berpikir mereka.

Demikian pula dalam Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) yang bersifat langsung, terjadi pula sifat transaksional yang pragmatis. Sebagian masyarakat percaya, siapapun yang terpilih, tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Maka, cara memilih berdasarkan kepentingan pragmatis, siapa yang memberi kemanfaatan paling banyak dan paling dirasakan menjelang masuk bilik TPS, itulah calon yang akan dipilih.

Sesungguhnya semua orang percaya, kalau setiap warga negara Indonesia baik tua maupun muda, besar maupun kecil, membawa satu sendok madu untuk dikumpulkan di Gedung Olah Raga Senayan, maka akan terkumpul 237.556.363 sendok madu. Semua orang percaya, kalau setiap warga negara Indonesia menyerahkan uang Rp. 100 (seratus Rupiah) kepada Panitia Pembangunan Rumah Korban Merapi dan Mentawai, maka akan terkumpul Rp. 23.755.636.300 atau duapuluh tiga milyar tujuhratus limapuluh lima juta enamratus tigapuluh enam ribu tigaratus rupiah.

Banyak masyarakat kita tidak percaya kepada hal yang kecil dan sederhana. Mereka tidak percaya kalau uang seratus rupiah yang mereka sumbangkan bisa menghasilkan akumulasi hampir 24 milyar rupiah, yang apabila disumbangkan untuk membangun rumah layak huni bagi korban Merapi atau Mentawai, akan bisa membangun 1.000 rumah seharga Rp. 24.000.000 per rumahnya. Ini lebih layak dari rumah yang dibangun oleh Pemerintah untuk korban gempa Jogja tahun 2006 yang nilainya Rp. 15.000.000 per rumahnya. Bukankah di rumah kita uang seratus rupiah dianggap sebagai pecahan yang tak ada nilainya ?

Sebuah nilai bisa terdiri dari dirinya sendiri yang memang telah bernilai, atau terdiri dari kumpulan berbagai bagian yang kurang bernilai. Kalau dalam dunia hadits, kita mengenal istilah hadits sahih lidzatihi dan sahih lighairihi, atau hadits hasan lidzatihi dan hasan lighairihi. Sahih karena dirinya sendiri, atau sahih karena banyaknya hadits serupa yang nilainya hasan. Tumpukan pasir bahan bangunan yang menjulang menyerupai gunung adalah kumpulan dari butir-butir pasir yang sangat kecil. Sering kali kita baru menghargai pasir ketika sudah satu truk, atau ketika sudah tampak menggunung.

Saya teringat teman lama, Ahmad Ghanzali, semoga Allah merahmatimu dimanapun kini kau berada. Dia seorang aktivis Jamaah Tabligh, yang semenjak masa kuliah di UGM dulu, sekitar kurun waktu tahun 1987 – 1990 dia sangat aktif menjalankan aktivitas dakwah. Ada ungkapan penuh keyakinan yang sering dia ceritakan kepada saya, “Kalau orang kita ajak ke masjid belum mau, ajak lagi lain kali. Jika belum mau juga, ajak lagi lain kali. Jika belum mau juga, ajak lagi, dan seterusnya. Nanti lama-lama ia akan mau ke masjid”. Ia yakin, perubahan adalah buah dari konsistensi, buah dari kesungguhan, buah dari ketekunan, buah dari keterusmenerusan.

Saat saya mengajar di Pesantren Darush Shalihat Yogyakarta pekan kemarin, ibu Nyai Pesantren bertanya kepada saya, “Bagaimana cara menumbuhkan kepekaan sosial kepada santriwati ? Berbagai usaha sudah saya lakukan tetapi belum ada hasilnya”. Saya menjawab singkat, “Tidak ada yang sia-sia dari proses pembinaan yang kita lakukan. Semua pasti memiliki pengaruh, mungkin bukan sekarang, namun suatu saat nanti baru kelihatan hasilnya”.

Kita ingin melihat uang duapuluh empat milyar rupiah itu sekarang, karena kita sudah tidak bisa menghargai proses dan waktu lagi. Kita tidak percaya bahwa uang recehan seratus rupiah itu ada manfaatnya. Kita ingin melihat pasir itu menumpuk bak gunung, baru kita percaya bahwa memang ada manfaatnya untuk membangun rumah dan bangunan tinggi. Kita tidak percaya bahwa satu butir pasir ada manfaatnya. Kita selalu ingin melihat lautan lepas yang dipenuhi air laut, karena kita tidak lagi menghargai bahwa air laut itu kumpulan dari partikel-partikel H2O.

Kita ingin melihat Indonesia berubah sekarang, menjadi baik sekarang, bebas korupsi sekarang, menjadi negara kuat dan maju sekarang, mandiri sekarang. Ya, sekarang. Bukan besok, bukan lusa. Kita sulit menghargai proses, bahwa hal-hal yang besar bisa dimulai dari yang kecil. “Saya cuma menebang satu pohon”, kata seorang warga saat diingatkan banjir bandang itu datang karena gunung yang gundul lantaran penebangan liar. Dia merasa tidak bertanggung jawab atas banjir yang datang, karena “bagaimana mungkin menebang satu pohon bisa mendatangkan banjir?”

“Saya cuma membuang satu keranjang sampah setiap hari”, kata seorang ibu rumah tangga saat diingatkan agar tidak membuang sampah ke sungai, karena banjir itu muncul dari aliran sungai yang dipenuhi sampah. Ia tidak merasa bertanggung jawab atas munculnya banjir di wilayah kampungnya, karena “bagaimana mungkin satu keranjang sampah bisa menyumbat aliran sungai?”

“Apakah kalau saya baik, Indonesia akan baik ?” Pertanyaan ini kurang lebih sama nilainya dengan, “Apakah kalau saya rusak, Indonesia akan rusak?” Kita sering lupa, penduduk Indonesia itu terdiri dari 237.556.363 “saya”.

“Apakah kalau saya tertib dan sopan di jalan, kondisi lalu lintas akan aman?” Pertanyaan ini mirip dengan, “Apakah kalau saya ugal-ugalan di jalan, lalu lintas akan kacau?” Kita sering lupa, bahwa keramaian jalan raya itu adalah kumpulan dari banyak “saya”.

“Apakah kalau saya jujur dan bersih, korupsi bisa hilang dari Indonesia?” Pertanyaan ini kurang lebih juga sama jawabannya dengan, “Apakah kalau saya korup, Indonesia akan menjadi negara terkorup?” Kita sering lupa, bahwa birokrasi dan lembaga negara itu adalah kumpulan dari para “saya”.

Masyarakat kita telah digilas oleh budaya instan, semua pengin terjadi secara cepat tanpa proses. Teman ronda saya di kampung, Pak Narno, sering meledek orang yang tidak merokok. “Katanya kalau berhenti merokok, dalam waktu dua tahun akan bisa membeli sepeda motor. Buktinya, orang-orang kampung yang tidak merokok itu juga tidak punya sepeda motor”. Teman saya itu tidak percaya proses, dia hanya ingin melihat hasil tanpa proses.

Apakah pendidikan yang kita lakukan tidak ada manfaatnya ? Terlalu pesimistik dan vatalistik pertanyaan seperti itu. Kita ingin melihat anak didik yang baik sekarang, tanpa harus sekolah. Tanpa harus diingatkan, tanpa harus dinasehati, tanpa harus diluruskan. Atau, kita ingin setiap nasihat langsung diikuti, setiap ajakan kepada kebaikan langsung dilaksanakan, semua larangan langsung dihindari. Tanpa proses, tanpa jeda waktu, karena kita ingin melihat kebaikan itu sekarang. Sungguh, kita sudah sulit menghargai proses dan waktu.

Apakah nasihat tidak ada lagi manfaatnya ? Apakah seminar sudah tidak memberikan makna ? Apakah tulisan sudah tidak ada artinya ? Apakah penataran sudah tidak ada fungsinya ? Apakah khutbah sudah tidak ada gunanya ? Apakah kuliah sudah tidak ada pengaruhnya ? Apakah aturan dan undang-undang sudah tidak ada tempatnya ? Apakah semua usaha itu pasti sia-sia ?

Berkacalah kita kepada Nabi Mulia, Muhammad Saw. Saat beliau dimusuhi oleh masyarakat Thaif yang mengusir beliau, malaikat datang menawarkan sebuah alternatif untuk menghancurkan orang-orang Thaif yang durhaka. Namun dengan arif beliau menolak tawaran itu, “Bahkan saya berharap, dari Thaif ini kelak lahir generasi yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya”. Demikian yang dikutip oleh Munawar Khalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi.

Ajakan beliau kepada kebaikan ditolak mentah-mentah oleh penduduk Thaif. Apakah ajakan itu tidak ada gunanya ? Pasti berguna. Nyatanya telah muncul generasi yang beriman dari Thaif, buah dari usaha dan doa beliau. Kita ingat pula kisah Maryam yang lemah saat melahirkan.

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan” (Maryam : 23).

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu” (Maryam : 24).

“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu” (Maryam : 25).

Dalam kondisi lemah karena melahirkan, adakah gunanya menggoyang pangkal pohon korma yang sangat kokoh itu ? Sepuluh orang lelaki perkasa akan kesulitan menggoyang pangkal pohon korma agar terjatuh buahnya, bagaimana dengan seorang perempuan yang tengah dalam kondisi lemah ? Apakah ada gunanya usaha itu ? Pasti ada. Dengan usaha itu, ada “alasan” bagi Allah untuk menolong Maryam.

Sangat banyak kegunaan dan kemanfaatan dari setiap bentuk usaha kita menuju kebaikan. Batu yang keras bisa terkikis oleh tetes air yang konsisten. Hati yang keras bisa dilembutkan oleh nasihat yang kontinyu. Pikiran yang kotor bisa bersih oleh penyadaran yang berkelanjutan. Jiwa yang lusuh kusut bisa bangkit oleh sentuhan yang mengena.

Saya selalu memiliki keyakinan, tidak ada usaha kebaikan kita yang sia-sia. Bahkan seandainya kita tidak melihat hasil usaha itu di dunia, Allah akan menghargai dengan sangat pantas semua usaha kita di hadapan-Nya. Teringat nasihat Tutor Pembimbing kepada rekan pendidikan di Lemhannas, mas Andi Zaenal Dulung, “Kalau nilai Taskap-mu ini jelek saat ujian, saya yakin nilai kamu di hadapan Allah sangat baik”. Taskap adalah Kertas Karya Perorangan, sebagai tugas akhir pendidikan sembilan setengah bulan di Lemhannas. Sang Tutor yakin, isi Taskap mas Andi mengajak kepada kebaikan, maka pasti Allah akan memberikan nilai yang baik.

Inilah keyakinan saya. Tak ada yang sia-sia, tak akan merugi, semua usaha kita melakukan perbaikan dan kebaikan, selalu ada manfaatnya. Selalu ada hasilnya, di masa sekarang, atau di masa yang akan datang. Di dunia, atau nanti di surga. Fahal jaza-ul ihsan illal ihsan…….

Maka, teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia.

Pancoran Barat, 9 Desember 2010
.::.
Oleh : Cahyadi Takariawan

Thursday, 16 December 2010

Kecewa adalah Tanda Cinta

“Orang-orang partai politik itu mudah kecewa. Begitu keinginannya tidak terpenuhi, lalu keluar dari partainya dan membuat partai baru”, kata seorang teman kuliah di Lemhannas berapi-api. Aku hanya mengatakan, “Tergantung partainya, dan tergantung orangnya”. Dia terus saja mengomel tentang jeleknya orang-orang parpol, dan jawabanku pun tetap sama.

Ini soal perasaan kecewa. Sesungguhnyalah kecewa muncul karena adanya harapan yang tidak kesampaian. Ada harapan yang ditanam, dan ternyata tidak didapatkan dalam kenyataan. Inilah yang menyebabkan muncul kekecewaan. Jarak yang terbentang antara harapan dengan kenyataan itulah ukuran besarnya kekecewaan. Semakin lebar jarak yang terbentang, semakin besar pula kekecewaan. Oleh karena itu, kecewa itu ada di mana-mana, di lingkungan apa saja, di dunia mana saja, selalu ada kecewa.

Mari kita mulai dari yang paling kecil dan sederhana. Kadang kita kecewa dengan diri kita sendiri. “Mengapa saya tidak begini, mengapa saya tidak begitu”, adalah contoh kekecewaan yang kita alamatkan kepada keputusan kita sendiri yang telah terjadi. Kita menyesal di kemudian hari.

Dalam kehidupan rumah tangga yang isinya hanya dua orang saja, yaitu suami dan isteri, bisa muncul kekecewaan. Suami kecewa kepada isteri, dan isteri kecewa kepada suami. Hidup berdua saja bisa menimbulkan kecewa, apalagi kehidupan organisasi atau negara. Jika di dalam rumah tangga mulai ada anak-anak, kekecewaan bisa bertambah luas. Anak kecewa dengan sikap orang tuanya, dan orang tua kecewa dengan kelakuan anaknya. Satu anak dengan anak lainnya juga bisa saling kecewa mengecewakan.

Satu keluarga bisa kecewa atas perbuatan keluarga lainnya dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Satu desa bisa kecewa dengan desa lainnya dalam satu kecamatan. Indonesia sangat kecewa dengan sikap Amerika yang arogan, kecewa dengan sikap Israel yang merampas hak warga sipil Palestina secara semena-mena. Sebagaimana Amerika kecewa dengan Indonesia karena kurang akomodatif dengan kebijakan Amerika. Israel kecewa dengan Indonesia karena tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Jamaah sebuah masjid bisa kecewa dengan sikap imam masjid, sebagaimana imam masjid bisa kecewa dengan kondisi jamaah. Masyarakat gereja bisa kecewa terhadap pendeta sebagaimana pendeta bisa kecewa terhadap keadaan jemaatnya. Suporter sepak bola sering kecewa terhadap tim yang dibelanya, sebagaimana pemain sepak bola sering kecewa kepada sikap para suporter.

TNI bisa kecewa terhadap kebijakan dan sikap Polri sebagaimana Polri bisa kecewa terhadap TNI. Angkatan Darat bisa kecewa terhadap Angkatan Laut dan Udara, sebagaimana Angkatan Laut bisa kecewa terhadap Angkatan Darat dan Udara, atau Angkatan Udara kecewa terhadap Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Di Angkatan Darat, seorang komandan bisa kecewa terhadap anak buahnya, sebagaimana anak buah bisa kecewa kepada komandannya.

Dalam gerakan dakwah, seorang kader bisa kecewa kepada pemimpin, sebagaimana pemimpin bisa kecewa atas sikap para kader. Seorang kader PKS menyampaikan pesan lewat SMS kepada saya, yang isinya mengatakan sangat kecewa dengan PKS dan akan keluar serta bergabung dengan sebuah gerakan dakwah tertentu, sebut saja gerakan G. Saya menjawab dengan dua kali jawaban. Pertama, bahwa hak masuk dan keluar dari PKS adalah di tangan anda sendiri, tak ada yang boleh memaksa. Kedua, kalau anda keluar dari PKS karena kecewa dan akan bergabung dengan gerakan dakwah G, maka ketahuilah bahwa gerakan G itu juga pernah mengecewakan anggotanya. Ada banyak orang kecewa dari gerakan G dan berpindah ke gerakan yang lainnya. Di setiap gerakan dakwah, selalu ada orang yang kecewa dan meninggalkan gerakan dakwah itu. Selalu.

Sepanjang sejarah kemanusiaan paska masa kenabian, tidak ada satupun organisasi yang tidak pernah mengecewakan anggotanya. Semua organisasi, semua gerakan, semua harakah pernah mengecewakan anggotanya. Selalu ada anggota organisasi atau anggota gerakan yang kecewa dan terluka. Selalu.

Ini bukan soal benar atau salahnya kondisi tersebut. Ini hanya potret sesungguhnya, begitulah kenyataan yang ada. Cobalah sebut satu saja contoh organisasi, ormas, gerakan dakwah, instansi, atau apapun. Pasti ada riwayat pernah ada anggota atau pengurus yang kecewa. Kalau tidak ada yang pernah dikecewakan, berarti organisasi tersebut belum pernah beraktiviktas nyata.

Bahkan organisasi yang dibuat dari kumpulan orang kecewa, pasti pernah mengecewakan anggotanya pula. Misalnya sekelompok orang kecewa dengan kebijakan organisasi A, lalu mereka menyingkir dan berkumpul. Mereka bersepakat, “Kita berkumpul di sini karena dikecewakan para pemimpin kita. Sekarang kita himpun potensi kita, dan kita berjanji untuk tidak saling mengcewakan lagi. Jangan ada yang dikecewakan disini”. Tatkala mereka sudah eksis sebagai organisasi, maka pasti ada yang kecewa di antara mereka.

Mereka tidak tahu, bahwa kecewa itu tanda cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin kecewa. Karena cinta, maka muncullah berbagai harapan kita. Setelah harapan tertanam, ternyata apa yang kita lihat dan kita alami tidak seperti yang diharapkan. Maka muncullah kecewa.

Mengapa beberapa orang parpol yang kecewa lalu membuat parpol baru lagi ? Karena boleh menurut Undang-undang. Coba kalau Undang-undang membolehkan membuat TNI baru, atau Polri baru, atau Mahkamah Agung baru, atau DPR baru, pasti sudah banyak orang membuat dari dulu. Banyak orang kecewa dengan TNI, banyak orang kecewa dengan Polri, banyak orang kecewa dengan Mahkamah Agung, banyak orang kecewa dengan DPR, banyak orang kecewa dengan Presiden dan Wakil Presiden, banyak orang kecewa dengan Menteri, banyak orang kecewa dengan Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, Ketua RW atau Ketua RT.

Jadi, kecewa itu ada dimana-mana, karena cinta ada dimana-mana, karena harapan ada dimana-mana. Namun muncul pertanyaan, pantaskah kita tidak berani memiliki harapan karena takut dikecewakan ? Jawabannya jelas, tidak pantas !

Karena harapan itulah yang membuat kita bersemangat, karena harapan itulah yang membuat kita bekerja, karena harapan itulah yang membuat kita selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, bahkan karena harapan itu pula yang membuat kita ada. Jangan takut memiliki harapan masuk surga. Jangan takut memiliki harapan Indonesia yang makmur dan sejahtera. Jangan takut memiliki harapan Indonesia menjadi negara paling adil dan paling maju di seluruh dunia.

So, teruslah memiliki dan memupuk harapan. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Jangan takut kecewa.

Pancoran Barat 30 Nopember 2010 (Cahyadi-takariawan)
.::.

Wednesday, 15 December 2010

Berhenti Berarti Mati

Oleh: Ustadz Abdul Muiz
Anas bin Malik mengatakan tentang Abdullah bin Ummi Maktum yang secara kondisi fisik buta. Tapi pada perang Yarmuk, Abdullah bin Ummi Maktum hadir di tengah para mujahidin di medan perang, memakai baju besi, memegang bendera. Anas bin Malik bertanya, wahai Abdullah bin Ummi Maktum, bukankah Rasulullah saw telah memberi udzur kepadamu? Ia menjawab, “Ya betul, memang dalam Al Quran telah diberikan udzur kepada orang buta. Tetapi saya menginginkan dengan kehadiran saya di sini, di medan perang, paling tidak dapat menambah jumlah tentara Islam.”

Diceritakan lagi ketika tentara Holagu masuk ke kota Baghdad, terdapat seorang ulama yang juga buta. Dia menghadang tentara dengan mengayunkan pedang ke kanan dan ke kiri barangkali ada musuh yang kena. Secara logika, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang dalam kondisi seperti itu? Barangkali kalau dia duduk di rumah dia tidak dosa dan tidak ada pertanggung jawabannya di sisi Allah. Tapi masalahnya, ia ingin berkontribusi, ingin aktif.

Kisah kisah semacam ini banyak dalam kisah tabiin. Yang kita inginkan dalam tarbiyah adalah para kader dakwah seperti itu. Meskipun sudah udzur tetap saja bersemangat berjuang, berjuang, berjuang. Kendala fisik, materi, kondisi ekonomi, minimnya sarana, dan kendala-kendala duniawi lain bukanlah halangan manakala iman sudah tertanam kuat di dada.

Suatu ketika Imam Ahmad bin Hambal ditanya muridnya, “mataa yajidul abdu tha’marrahah?” "kapan seseorang bisa beristirahat?” Ia menjawab, “Indamaa yatha’u ihda qadamaihi fil jannah” (“Jika kita telah menginjakkan kaki di Surga, maka disanalah kita akan beristirahat”). Artinya sebelum mati, tidak ada waktu untuk senang senang istirahat. Laa rahata li du’at illa ba’dal mamaat (tidak ada kamus berleha-leha bagi para da'i kecuali setelah mati). Itu kata Syaikh Ahmad Rasyid. Jadi barangsiapa yang mau istirahat silahkan mati. Meskipun setelah itu juga belum tentu bisa istirahat karena tidak ada amal.**

.::.

Wednesday, 8 December 2010

Pemburu Akhirat

Oleh: Anis Matta
Penghujung malam. Sang khalifah, Ali Bin Abi Thalib, berdiri di tengah mihrabnya. Sendiri. Tangannya menengadah ke langit. Air matanya tumpah ruah. Lirih benar ketika do’anya memecah sunyi, “Tuhan, biarlah dunia ini hanya ada dalam genggaman tanganku. Jangan biarkan ia masuk ke dalam hatiku.”

la sadar ia berada di puncak. Tapi juga di ujung waktunya. la hanya ingin menutup kitab kehidupannya dengan kebaikannya. la tidak ingin tergelincir di ujung jalan. Tapi godaan kekuasaan memang terlalu dahsyat untuk diremehkan.

Melawan dalam sunyi itu susah. Terlalu susah. Membangun dalam hening itu berat. Terlalu berat. Tapi meremehkan kekuasaan yang ada dalam genggaman tanganmu, meninggalkannya dengan sadar dan enteng, mungkin jauh lebih susah. Jauh lebih berat. Inilah syahwatnya syahwat. Inilah kunci dunia yang memberimu segalanya: kebesaran, kemegahan, kemudahan, popularitas, uang, seks. Semuanya. Itulah yang kamu bangun dari perlawanan berdarah-darah. Kerja panjang dalam hening dan sepi.

Sekarang, ketika kamu sudah merebutnya, setelah semuanya ada dalam genggamanmu, kamu harus melepasnya, dengan sadar dan enteng, sambil tersenyum. Inilah sisi ketiga dari kepahlawanan seseorang yang diceritakan kekuasaan: kezuhudan. Kamu tidak melawan musuh disini. Kamu tidak bekerja keras disini. Kamu bahkan tidak berpikir disini. Kamu hanya melawan dirimu sendiri. Memikirkan nasibmu sendiri. Memilah keinginanmu sendiri: Apa yang kau cari sebenarnya? Inikah?

Kamu harus berhati-hati dengan penglihatanmu sendiri! Kamu mungkin salah lihat. Kamu mungkin tertipu. Kamu sedang berada di puncak. Tapi kamu juga sedang melangkah pada jengkal terakhir dari waktumu. Apa yang kamu lihat di sini bukanlah apa yang kamu cari. Ini hanya fatamorgana. Kamu harus melampauinya. Tujuanmu yang sebenarnya masih ada di ujung sana, di balik fatamorgana ini: akhirat.

Hanya ketika seorang pahlawan menetapkan misi hidupnya sebagai pemburu akhirat, ia akan sanggup melampaui dunia: meremehkan kekuasaannya, meninggalkannya dengan sadar dan enteng. Itu sebabnya mereka tidak menikmatinya. Kekuasaan berubah jadi beban yang menyesakkan dada. Bukan kehormatan yang membuatnya bangga.

“Aku ingin melepas jabatan ini. Aku sudah bosan dengan rakyatku. Mungkin juga mereka sudah bosan denganku,” kata Umar bin Khattab suatu saat di tengah masa khilafahnya.

Hanya ketika kamu menganggap kekuasaan sebagai beban kamu akan mencari celah untuk melepaskannya.

Hanya ketika beban pertanggungjawaban menyiksa batinmu, merebut privasimu, membuatmu takut setiap saat, kamu tidak akan pernah bisa menikmati kekuasaan. Kamu pasti lebih suka meninggalkannya. Hanya ketika itu kamu jadi pahlawan.
.::.