Paket SOP Toko Retail Modern

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : SOP Toko Retail Modern.

Key Performance Indicator (KPI)

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : Key Performance Indicator (KPI).

Konsultan SOP Perusahaan

Master SOP adalah Konsultan SOP dan Sistem Bisnis untuk bisnis yang Autopilot.

Paket SOP Garmen / Konveksi

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : SOP Garmen / Konveksi.

Paket SOP Resto Modern

Refrensi dan Contoh Lengkap Penyusunan SOP dari Produk Paket Serial Contoh SOP Perusahaan : SOP Resto Modern.

Showing posts with label Lirih. Show all posts
Showing posts with label Lirih. Show all posts

Wednesday, 31 August 2011

Selembar Tikar Tua

Kisah Selembar Tikar Tua

Tuhan,
Katanya Kau tak pernah tidur, benarkah ?
Kalau aku, aku susah tidur Tuhan…
Kau tahu kenapa ?

Karena aku tak punya makanan yang bisa mengenyangkan perutku,
Aku juga tak punya pakaian yang bisa menghangatkan tubuhku,
Aku pun tak punya kasur empuk untuk mengistirahatkan badanku,
Kau tahu, Tuhan ?

Seharian ini aku sudah bekerja keras,
Membantu mengangkat barang belanjaan orang di pasar,
Menjual kantong-kantong plastik,
Dan membantu Pak Ajis membersihkan sampah.
Aku ingin mengumpulkan uang banyak untuk beli baju dan sandal baru.
Kau tahu kenapa, Tuhan?

Karena bukankah sebentar lagi Lebaran ?
Itu berarti aku bisa menabung,
tak perlu beli makanan,
Karena aku puasa, dan masjid-masjid biasanya kasih makanan gratis buat buka dan sahur.
Tuhan, Kau sudah mengantuk, belum ?
Aku ngantuk

Maukah Kau menemaniku tidur ?
Aku punya selembar tikar tua untuk alas tidur
Cukup kok untuk kita berdua.Tuhan, aku kedinginan
Bolehkah aku memeluk-Mu ?

(Chi chi Sukardjo), Tulisan sini, Foto saya dari sini

Thursday, 22 January 2009

Hasanudin, 15 Tahun Tidak Berdaya Karena Sakit

HASANUDIN,SAKIT 15 TAHUN, NAFKAH MENGANDALKAN ISTRI

Lengkap sudah derita Hasanudin. 15 tahun ia sakit tak kunjung sembuh. Betapa tabahnya ia. Selama 15 tahun itu pula, ia menggantungkan hidup dan nafkah anak-anaknya kepada sang istri tercinta.

Untuk sampai ke rumah Hasanudin di perlukan waktu 15 menit dari kota Karangasem dengan jalan yang berliku di tengah pematang sawah. Rumah keluarga ini cukup terpencil letaknya. Bahkan ia tidak mempunyai tetangga di sekitar rumahnya.

Hasanudin hidup bersama seorang istri dan 2 orang anak ditambah adik kandungnya yang bernama Sanusi. Walaupun usia Sanusi terus beranjak tua, namun ia belum menikah karena alasan ekonomi. Ketika ditanya dirinya pun dia tidak mau menikah.

Hasanudin sendiri saat ini sudah tidak bisa lagi berkerja, karena sejak 15 tahun lalu dia mengalami sakit pada tenggorokannya. Beberapa penyakit lain yang diidapnya juga terus menggerogotinya. Maka yang menjadi tumpuan hidup keluarga tersebut adalah Sulihat, istrinya. Wanita setia tersebutkarena desakan keadaan akhirnya emikul beban dan tanggung jawab sebagai ‘kepala keluarga’. Sehari-harinya Sulihat bekerja sebagai buruh tani, dengan mengharapkan upah dari para petani lain yang tanahnya dibersihkan atau di cangkul. Karenanya, penghasilanya menjadi sangat tidak menentu.

Menyelamatkan Pendidikan Anak
Bagi Hasanudin, terutama Sulihat yang memang bekerja keras mencari uang, menyelamatkan pendidikan anak-anaknya merupakan tanggung jawab moral orang tua yang harus dipenuhi. Walaupun keluarganya orang tak punya, ia berharap pendudukan Faturahman dapat terus ditempuh hingga ke jenjang yang lebih tinggi.Fatur yang merupakan anak laki-laki pertamnya saat ini masih bisa sekolah di kelas 3 SDN 11 Karangasem.

Bukan karena ada tabungan lantas bisa menyekolahkan anaknya, tapi Fatur bisa sekolah karena mendapat bantuan dana "BOS" dari pemerintah. Jika tidak, mungkin Fatur akan bernasib seperti Nur Hidayati. Adik kandung perempuannya itu bernasib kurang beruntung. Saat kelas tiga Sekolah Dasar, dan ketika itu dana BOS belum muncul, Nur berhenti sekolah. Alasanya sudah bisa ditebak bagi keluarga Hasanudin ini: tak ada uang untuk membiayai Nur Hidayati! Nur yang mulai menjadi remaja itu akhirnya pasrah, setiap hari membantu ibunya sebagai buruh tani dengan ikut mencangkul sawah orang lain. Masa depannya terlihat samar.


Tersengat Kala jengking
Ketika tim kami berkunjung kerumah Hasanudin, Sulihat - istrinya sedang sakit, tangannya tersengat kalajengking.
“Biasanya istri saya dari pagi sampai sore tidak ada di rumah karena keliling menjadi buruh tani. Tapi karena tangannya tersengat kalajengking dan dia tak sanggup menahan rasa sakit akibat sengatan itu, mau nggak mau akhirnya dia sementara diam di rumah.” Tutur Hasan.

Seolah menguatkan pernyataan sang suami, Sulihat pun bercerita tentang sengatn kalajengking itu. “Saya tidak bisa menahan sakit ketika tangan saya disengat ketika mencari kayu bakar. Sampai-sampai saya menangis akibat sengatan itu.” Ungkapnya. “Seandainya saya bisa menahan sakit, mungkin sekarang ini saya tidak tinggal diam di rumah karena harus mencari nafkah keluarga.

Dalam hal mencari nafkah, Sulihat juga dibantu Sanusi. Sanusi biasa berkerja sebagai buruh apa saja. Terkadang menjadi buruh panjat pohon kelapa, atau buruh bangunan. Semua hasil jerih payah mereka, digunakan untuk bertahan hidup.

Rumah Huni yang Tak Layak
Tak hanya susah mencari uang untuk biaya hidup, keluarga Hasanudin pun tinggal dalam sebuah rumah tua dan rapuh. Mungkin lebih tepat disebut gubuk, memperihatinkan!
Rumah yang dihuni itu hanya berupa 1 kamar dengan dinding rumah belakang terbuat dari tanah liat yang sudah roboh. Dinding sampingnya pun tampak retak-retak akibat gempa 5 tahun lalu yang sampai saat ini belum bisa di perbaiki. Demikian juga dengan atap rumahnya yang terbuat dari seng yang sudah berkarat. Sebagian atap seng didapat dari rongsokan pemberian mertuanya. Ketika hujan tiba, kebocoran atap menjadi langganannya.

Tak hanya itu, lantai kamarnya masih terbuat dari tanah alias beralaskan bumi. Ia mempunyai teras rumah ukuran 1 x 3 meter yang sudah di semen. Namun semen itu merupakan sumbangan ketika gempa usmh terjadi 5 tahun silam yang hanya mendapat 1 zak semen. Walaupun begitu, ia berusaha tegar atas penderitaan yang ia alami.

Hasanudin berharap ada dermawan yang bisa membantunya keluar dari kemiskian saat ini. Ia menyerahkan kepada Tuhan melalui DSM dan Koran Tokoh agar harapannya itu bisa terwujud. Adakah yang bisa membantu?

(Dimuat dalam majalah 'Madani' DSM Bali dan Koran Tokoh).


Wednesday, 24 December 2008

Alfin Al Hamdani, Busung Lapar dan Penderita Epilepsi di Karang Bedil, Karangasem - Bali

Menanti Uluran Tangan ANDA!
Duka di Karangasem terkuak lagi. Kali ini seorang anak di dusun Karang Bedil Lingkungan Belong Kecamatan Karangasem bernama Alfin Al Hamdani tergolek lunglai tak berdaya. Tubuhnya lemas. Sementara di dadanya terlihat cekungan yang cukup dalam dari penyakit yang dideritanya. Orang-tua dan tetangganya bilang, Alfin terkena busung lapar atau gizi buruk. Sejak kecil Alfin memang sering sakit-sakitan. Dari diare hingga kejang-kejang ia pernah mengidapnya. Ia sering bolak-balik ke UGD. Namun rupanya tak hanya itu, karena seringnya kejang, Alfin didiagnosa mengalami kelainan saraf. Dokter RSAD Karangasem yang sering menangani sakit-sakitnya Alfin tak berani menyimpulkan. Maka dirujuklah Alfin untuk berobat ke Denpasar.

Berangkatlah orang tua Alfin, Sariyati (28) dan Suhaini (31) ke Denpasar. Bukan ke RSU Sanglah yang dituju, melainkan sebuah klinik bernama Tumbuh Kembang. Dari sana didapat kesimpulan bahwa ternyata Alfin juga mengidap Epilepsi. Epilepsi itulah yang juga membuat dirinya tak bisa berdiri. Bahkan untuk sekedar dudukpu tak bisa. Jadilah Alfin hanya bisa menengok ke kanan dan ke kiri. Merespon setiap yang dekat dengannya.

Sariyati maupun Suhaini meresa terpukul karenanya. Mereka tak ingin Alfin terus menderita. Dengan segala keterbatasannya, sekuat biaya mereka mengantarkan Alfin berobat dan dan melakukan terapi penyembuhan. Menurut dokter, terapi agar Alfin bisa baik kembali dilakukan selama 2 tahun. Setiap bulannya Alfin harus berobat. Namun sayang, biaya obat sangat menyulitkan Sariyati dan Suhaini. Menurutnya, yang sangat memberatkan adalah obat gejala epilepsi yang mencapai 200 ribu rupiah. Sedangkan untuk menebus kalsium agar tulang Alfin kembali kuat dan bisa duduk / berdiri mereka harus membayar 196 ribu rupiah. Lain halnya dengan biaya dokter, yang mencapai 80 ribu rupiah per sekali tebus.

Tentu saja Suhaini yang seorang Cleaning Service Bank Sari Parta kelimpungan. Honornya yang telah bekerja selama 11 tahun di Bank Tersebut dihargai 700 ribu perbulannya. Tak cukup? Tentu saja. Apa lagi Sariyati juga tidak bekerja. Sebagai ibu, ia hanya bisa menjaga dan merawat Alfin di rumah. Tak bayak yang ia bisa kerjakan di dusun Karang Bedil. Di dusun tersebut, susah baginya untuk membuka usaha, walau sekedar usaha kecil-kecilan.

Sebagai orang tua yang melahirkan dan menyayangi Alfin, keduanya, baik Suhaini maupun Sariyati berharap Alfin bisa segera sembuh. Mereka juga berharap bisa menebus biaya berobat rutin setiap bulannya untuk Alfin yang mencapai 450 ribu rupiah. Barangkali dari kita ada yang igin berbagi?! (Hanafi - DSM Bali).

Dompet Peduli Untuk Alfin Al Hamdani
DSM Bali
Jalan Diponegoro No.175 Denpasar
Telp. +62361 7445221, +62361 241376
Email: dsmbali@yahoo.com
www.dsmbali.or.id

Rekening Donasi:
Bank Muamalat Indonesia, Acc.No. 751 000 1315
Bank Syariah Mandiri, Acc.No. 085 000 8797
BCA (an. Hendry Sulistiono) Acc. No. 6110 211 901

Sunday, 26 October 2008

Sundusiah, Janda Dhuafa yang Mengasuh 5 Anak

DSM Bali - Seorang diri Sundusiah memberi makan, mengasuh, membesarkan 5 orang anak-anaknya. Suaminya, Almarhum Syahrudin, sudah 2 tahun lalu menghadap Sang Khaliq. Kata para tetangga, Si Almarhum sakit tetanus. Luka-luka di tangan dan kaki akibat tersayat rumput, daun-daun jagung tajam, dan juga tanaman lain bercampur kotoran hewan yang ia bersihkan menyebabkan tetanus di lukanya. Tak ayal, karena kurang dibersihkan, tetanus itu akhirnya merengut nyawanya.

Diusianya yang 37 tahun, Sundusiah harus menjadi tumpuan harapan semua anak-anaknya yang terus beranjak besar. Sebesar kebutuhan mereka yang juga terus membengkak. Ia harus menggantikan peran sang suami mencari nafkah.

Bagaimana ia mencari uang? Mulailah ia mencangkul pekarangan orang. Tak peduli dirinya adalah seorang wanita yang fisiknya lebih tua dari umur yang semakin kehabisan tenaga menghadapi peliknya derita hidup. Menerima upah yang tak pernah lebih dari 12 ribu rupiah perharinya. Itupun tak pasti setiap hari ia melakukan pekerjaan melelahkan itu. Kadang kala ia menjadi buruh pencabut kacang tanah dari tanahnya. Kemudian memipilinya. Upah yang diterimanya pun tak jauh berbeda dengan upah mencangkul.

Kalau Anda ingin tahu berapa penghasilan perbulan dari Sundusiah? Jawabnya adalah 100 ribu rupiah. Banyangkan dengan jumlah anak yang harus dihidupinya. ”Yaahh, mau nggak mau harus dicukup-cukupi”, keluhnya, sembari menghembuskan nafas yang berat.

Walaupun hidup dalam serba kekurangan, ibu yang bermukim di dusun Tenaban lingkungan Batanyuh kelurahan Karangasem kecamatan Karangasem ini masih punya tekad untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tengok saja, Siti Sarah (15 th.), anak tertua Sundusiah ini dititipkan pada sebuah yayasan bernama Yayasan Silaturahim Subagan. Sarah pun bisa belajar banyak di sana. Lain halnya Fikri (7 th.) dan Firman (13 th.), adik dari Sarah itu dapat sekolah di sebuah Sekolah Dasar di desanya. Mereka mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sundusiah lebih banyak mencari biaya buku dan seragam, dan mungkin uang jajan bagi keduanya.

Namun malang bagi Siti Juminah (9 th.). anak ketiga Sundusiah ini tidak sekolah. Padahal usianya sudah sembilan tahun. Juminah pun tak kuasa menuntut ibunya untuk bisa menyekolahkan dirinya. Ia berusaha untuk mengerti. Lain halnya dengan Ferdi Hardiansyah (2 th.), bocah tersebut memang belum harus sekolah. Namun umurnya yang masih balita, ia harus menderita gangguan pernafasan. Nafasnya terdengar seperti orang yang mendengkur. Maklum ia bersama ibu dan kakak-kakaknya tinggal di rumah tuah dan rapuh. Tak layak sebenarnya untuk dihuni bagi manusia. Namun begitulah adanya. Rumah warisan suami Sundusiah itu menjadi saksi keluh kesah mereka.(Hanafi)

Jika Anda berminat membantu hub :
DSM Bali
Jl Diponegoro 157 Denpasar Bali
0361-7445221 (hanafi)

Thursday, 10 April 2008

Mbah Tuki - Menggantung Nasib pada Buah Afkir

Denpasar - Bali, DSM Bali
Menggantung Nasib pada Buah Afkir
”Usianya sudah uzur, 68 tahun, namun Mbah Tuki masih harus bergelut dengan kehidupan yang berat. Tiga cucunya menjadi tanggungannya. Sementara ia hanya mengandalkan usaha memulung buah di pasar, untuk dijual kembali”

Adzan shubuh baru saja berlalu, udara dingin pun masih melingkup. Namun Mbah Tuki sudah bersiap dengan kerja rutinnya. Selepas shalat shubuh, keranjang butut bergegas dijinjing menemaninya ke pasar buah sekitar 3 kilometer dari rumahnya. Sementara ketiga cucunya masih tidur pulas di kamar rumah kontrakkan yang sempit.

Berjalan kaki ia menyusuri jalanan yang masih sunyi. Setiba di pasar buah kawasan Jalan Gunung Galunggung, Kargo, Denpasar, Mbah Tuki langsung beredar mencari pisang-pisang afkir, berharap masih ada bagian yang bagus. Kadang kalau ada modal, lewat pengepul ia memborong sekeranjang, harganya Rp 5 ribu.

Begitu matahari sudah menyembul dari cakrawala dan lalu lalang manusia berangkat kerja. Mbah Tuki pulang ke rumah. Lantas pisang-pisang afkir yang dibelinya di pasar, ia ambil bagian yang masih bagus. Digoreng lantas dijual dengan cara berkeliling. Hasilnya lumayan untuk uang saku cucunya berangkat sekolah.

Istirahat? Belum. Mbah Tuki masih kembali lagi ke pasar yang sama, kali ini ditemani cucu terkecilnya. Kali ini ia mencari jeruk, mangga, nanas atau yang buah afkir lainnya. Sama, buah-buahan afkir itu dijualnya kembali setelah dibersihkan. Yang tidak laku, ia berikan kepada anak-anak kecil di sekitar tempat tinggalnya. Selepas adzan dhuhur ia baru pulang ke rumah. Begitu setiap hari yang dikerjakan Mbah Tuki untuk menghidupi ketiga cucunya yang ditinggal kedua orang tuanya entah ke mana.

”Menawi mboten ngeten sinten sing nyukani sangune lare-lare, kale tumbas beras kagem nedho,” (Kalau tidak begini siapa yang memberi bekal untuk anak-anak, atau beli beras untuk makan),” ujar Mbah Tuki lirih.

Wanita renta itu kini terpaksa bekerja sendirian menghidupi tiga orang cucunya, Sri Wahyuningsih yang duduk di bangku kelas 4 SD, Alex Siswanto, dan Agus Setiawan ( 6 tahun).Beban hidupnya cukup berat, selain kebutuhan sehari-hari, Mbah Tuki masih harus mencari uang untuk biaya sekolah cucunya.

Mbah Tuki tinggal bersama tiga orang cucunya di sebuah rumah kontrakkan yang disewanya Rp 250 ribu per bulan. Hampir semua warga di lingkungan Mbah Tuki adalah pendatang. Hari Raya kemarin Mbah Tuki dan cucu-cucunya tak bisa pulang ke Jember lantaran tak ada biaya.
Sudah hampir lima tahun Mbah Tuki melakoni pekerjaannya, walau melelahkan, namun Mbah Tuki tidak pernah mengeluh. Semuanya dikerjakan dengan sabar, senyum selalu tersungging di sela kelelahan.

Kepada Madani, wanita asal Jember itu mengaku tidak menyangka jika jalan hidupnya akan seperti ini. Awalnya ia datang ke Bali diajak anaknya lelakinya yang bekerja di Denpasar, 12 tahun silam. ”Sekarang anak saya pergi ke Jakarta, namun sudah setahun ini tidak ada kabarnya. Istrinya pergi meninggalkan rumah saat Agus, cucu saya, baru berumur 2 tahun,” kata Mbah Tuki.
(Source : Majalah Madani DSM Bali)

Dompet Kepedulian : Transfer ke rekening Infaq Kemanusiaan DSM BCA (an. Hendry Sulistiono) No. AC. 6110 211 901 atau Hubungi DSM BALI: 0361 241376