DSM Bali - Seorang diri Sundusiah memberi makan, mengasuh, membesarkan 5 orang anak-anaknya. Suaminya, Almarhum Syahrudin, sudah 2 tahun lalu menghadap Sang Khaliq. Kata para tetangga, Si Almarhum sakit tetanus. Luka-luka di tangan dan kaki akibat tersayat rumput, daun-daun jagung tajam, dan juga tanaman lain bercampur kotoran hewan yang ia bersihkan menyebabkan tetanus di lukanya. Tak ayal, karena kurang dibersihkan, tetanus itu akhirnya merengut nyawanya.
Diusianya yang 37 tahun, Sundusiah harus menjadi tumpuan harapan semua anak-anaknya yang terus beranjak besar. Sebesar kebutuhan mereka yang juga terus membengkak. Ia harus menggantikan peran sang suami mencari nafkah.
Bagaimana ia mencari uang? Mulailah ia mencangkul pekarangan orang. Tak peduli dirinya adalah seorang wanita yang fisiknya lebih tua dari umur yang semakin kehabisan tenaga menghadapi peliknya derita hidup. Menerima upah yang tak pernah lebih dari 12 ribu rupiah perharinya. Itupun tak pasti setiap hari ia melakukan pekerjaan melelahkan itu. Kadang kala ia menjadi buruh pencabut kacang tanah dari tanahnya. Kemudian memipilinya. Upah yang diterimanya pun tak jauh berbeda dengan upah mencangkul.
Kalau Anda ingin tahu berapa penghasilan perbulan dari Sundusiah? Jawabnya adalah 100 ribu rupiah. Banyangkan dengan jumlah anak yang harus dihidupinya. ”Yaahh, mau nggak mau harus dicukup-cukupi”, keluhnya, sembari menghembuskan nafas yang berat.
Walaupun hidup dalam serba kekurangan, ibu yang bermukim di dusun Tenaban lingkungan Batanyuh kelurahan Karangasem kecamatan Karangasem ini masih punya tekad untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tengok saja, Siti Sarah (15 th.), anak tertua Sundusiah ini dititipkan pada sebuah yayasan bernama Yayasan Silaturahim Subagan. Sarah pun bisa belajar banyak di sana. Lain halnya Fikri (7 th.) dan Firman (13 th.), adik dari Sarah itu dapat sekolah di sebuah Sekolah Dasar di desanya. Mereka mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sundusiah lebih banyak mencari biaya buku dan seragam, dan mungkin uang jajan bagi keduanya.
Namun malang bagi Siti Juminah (9 th.). anak ketiga Sundusiah ini tidak sekolah. Padahal usianya sudah sembilan tahun. Juminah pun tak kuasa menuntut ibunya untuk bisa menyekolahkan dirinya. Ia berusaha untuk mengerti. Lain halnya dengan Ferdi Hardiansyah (2 th.), bocah tersebut memang belum harus sekolah. Namun umurnya yang masih balita, ia harus menderita gangguan pernafasan. Nafasnya terdengar seperti orang yang mendengkur. Maklum ia bersama ibu dan kakak-kakaknya tinggal di rumah tuah dan rapuh. Tak layak sebenarnya untuk dihuni bagi manusia. Namun begitulah adanya. Rumah warisan suami Sundusiah itu menjadi saksi keluh kesah mereka.(Hanafi)
Jika Anda berminat membantu hub :
DSM Bali
Jl Diponegoro 157 Denpasar Bali
0361-7445221 (hanafi)
Diusianya yang 37 tahun, Sundusiah harus menjadi tumpuan harapan semua anak-anaknya yang terus beranjak besar. Sebesar kebutuhan mereka yang juga terus membengkak. Ia harus menggantikan peran sang suami mencari nafkah.
Bagaimana ia mencari uang? Mulailah ia mencangkul pekarangan orang. Tak peduli dirinya adalah seorang wanita yang fisiknya lebih tua dari umur yang semakin kehabisan tenaga menghadapi peliknya derita hidup. Menerima upah yang tak pernah lebih dari 12 ribu rupiah perharinya. Itupun tak pasti setiap hari ia melakukan pekerjaan melelahkan itu. Kadang kala ia menjadi buruh pencabut kacang tanah dari tanahnya. Kemudian memipilinya. Upah yang diterimanya pun tak jauh berbeda dengan upah mencangkul.
Kalau Anda ingin tahu berapa penghasilan perbulan dari Sundusiah? Jawabnya adalah 100 ribu rupiah. Banyangkan dengan jumlah anak yang harus dihidupinya. ”Yaahh, mau nggak mau harus dicukup-cukupi”, keluhnya, sembari menghembuskan nafas yang berat.
Walaupun hidup dalam serba kekurangan, ibu yang bermukim di dusun Tenaban lingkungan Batanyuh kelurahan Karangasem kecamatan Karangasem ini masih punya tekad untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Tengok saja, Siti Sarah (15 th.), anak tertua Sundusiah ini dititipkan pada sebuah yayasan bernama Yayasan Silaturahim Subagan. Sarah pun bisa belajar banyak di sana. Lain halnya Fikri (7 th.) dan Firman (13 th.), adik dari Sarah itu dapat sekolah di sebuah Sekolah Dasar di desanya. Mereka mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sundusiah lebih banyak mencari biaya buku dan seragam, dan mungkin uang jajan bagi keduanya.
Namun malang bagi Siti Juminah (9 th.). anak ketiga Sundusiah ini tidak sekolah. Padahal usianya sudah sembilan tahun. Juminah pun tak kuasa menuntut ibunya untuk bisa menyekolahkan dirinya. Ia berusaha untuk mengerti. Lain halnya dengan Ferdi Hardiansyah (2 th.), bocah tersebut memang belum harus sekolah. Namun umurnya yang masih balita, ia harus menderita gangguan pernafasan. Nafasnya terdengar seperti orang yang mendengkur. Maklum ia bersama ibu dan kakak-kakaknya tinggal di rumah tuah dan rapuh. Tak layak sebenarnya untuk dihuni bagi manusia. Namun begitulah adanya. Rumah warisan suami Sundusiah itu menjadi saksi keluh kesah mereka.(Hanafi)
Jika Anda berminat membantu hub :
DSM Bali
Jl Diponegoro 157 Denpasar Bali
0361-7445221 (hanafi)
Sebuah profil yg mengiris hati...
ReplyDeleteSoladiratisamu tinggi friend.. salut...
moga da donatur yg tergerak hatinya