Bali dan Kemiskinan
Bali lebih dikenal oleh wisatawan mancanegara daripada nama Indonesia. Menyaksikan Bali dari kemasyuran tempat wisatanya seperti Kuta, Sanur, Nusadua, Tanah lot adalah gambaran kemakmuran, eksotis, serba mentereng, megah, mewah, dan bahkan glamor. Potret wisata Bali terutama di daerah Badung dan sebagian Kota Denpasar, seakan mengisahkan Bali bebas dari kontaminasi virus kemiskinan. Sungguh, Bali dari tampilan wajah pariwisatanya, seakan meyakinkan pengunjung bahwa provinsi ini tidak lagi tersentuh kemiskinan. Benarkah sebuah kesimpulan yang hanya berdasarkan kesaksian empiris seperti itu?
Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup yang menggambarkan kekurangan materi, biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, dan kesempatan pendidikan. Menurut Bank Dunia orang dikatakan miskin apabila pendapatannya tidak lebih dari US $2 atau standar kemiskinan oleh BPS adalah ukuran pendapatan US $1 per hari.
Mari kita tengok hasil survey DSM Bali pada tahun 2006. Survei dilakukan selama 3 bulan di 67 kampung/desa di Bali yang meliputi wilayah Karangasem, Klungkung, Gianyar, Bangli, Buleleng, Tabanan, Jembrana, Badung dan Denpasar. Desa/kampung tersebut diambil sebagai lokasi survei berdasarkan banyaknya penduduk muslim yang bertempat tinggal di desa/kampung tersebut dan juga bedasarkan rekomendasi dari tokoh-tokoh muslim di Bali.
Dari hasil survei yang dilakukan, dapat diketahui bahwa dari 413 responden yang meliputi 67 desa/kampung di seluruh Bali, diketahui bahwa sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh/tukang (29,5%), pedagang (21,1%), dan petani (16,5%) dengan penghasilan rata-rata kurang dari 200 ribu/bulan (52,5%) dan sebagian besar memiliki hutang (77,5%). Dilihat dari latar belakang pendidikan, sebagian besar responden telah tamat SD (33,7%) dan tidak tamat SD (27%).
Data BPS 2006 tentang angka kemiskinan di Bali menunjukkan masih cukup tinggi jumlah keluarga miskin di Bali yaitu 147.044 KK. Jumlah terbesar berada di Buleleng, yaitu 47.908 KK. Berikutnya di Karangasem (41.826 KK), Bangli (13.191 KK), Tabanan (11.672 KK), Klungkung (8.460 KK), Gianyar (7.629 KK), Jembrana (6.998 KK), Badung (5.201 KK), dan Denpasar sebanyak 4.159 KK.
Menarik apa yang diungkapkan oleh Ketua DPD Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Bali A.A. Ngurah Gede Widiada. Bahwa, ketergantungan Bali terhadap industri pariwisata sangat jelas dirasakan pada saat Bali mengalami krisis kunjungan wisatawan pascaserangan teroris yang meledakkan bom di Bali. Kenyataannya mayoritas masyarakat miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian dan mayoritas masyarakat Bali adalah petani. Sedangkan proyek pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah diprediksi tak akan menyentuh akar permasalahan. Anggaran yang dialokasikan untuk meningkatkan taraf hidup rumah tangga miskin (RTM) masih dikelola dengan pendekatan politik bahkan masih menjadi media propaganda politik dan pencitraan. Menurutnya, sering gagalnya penanganan kemiskinan akibat strategi yang dilakukan beredar di permukaan bukan melakukan bedah langsung terhadap indikator-indikator kemiskinan. ''Saya melihat penanganan kemiskinan masih menjadi proyek politik bukan keikhlasan membantu RTM keluar dari beban kehidupan. Strateginya pun masih menjauh dari upaya-upaya meningkatkan taraf hidup RTM,'' ujarnya.
Peran LAZ dan Jargon Universal
Dompet Sosial Madani Bali didirikan tahun 2001. Berkhitmat sebagai lembaga nirlaba yang mengelola zakat, infak, sedekah dan wakaf berdasarkan prinsip-prinsip amanah, mandiri, dan profesional guna meningkatkan manfaat nyata bagi kesejahteraan umat. DSM Bali mengambil peran strategis dalam 3 sektor, yaitu pemberdayaan, pengembangan dakwah dan pendidikan dan bantuan kemanusiaan, kesehatan dan emergency. Karena itu core programme DSM Bali adalah Pemberdayaan, Pendidikan dan Kemanusiaan.
Coba kita renungkan kalimat yang berbeda namun bermakna agak mirip “Karena masyarakat bodoh, makanya masyarakat menjadi miskin“, atau kalimat yang ini “Karena masyarakat miskin makanya mereka tidak bisa sekolah dan akhirnya mereka tetap bodoh“ dan yang ini “Karena masyarakat tidak sekolah makanya mereka tetap bodoh dan akhirnya mereka menjadi miskin“.
Kalimat tersebut mengandung makna bahwa persoalan kemiskinan, pendidikan, dan kebodohan adalah satu paket persoalan yang harus dituntaskan bersamaan.
Program unggulan yang DSM Bali tawarkan kepada masyarakat dalam rangka membantu persoalan pendidikan adalah Rumah Asuh Madani, yaitu program pendidikan plus gratis berasrama bagi anak-anak tidak mampu. Beasiswa SIGMA, yaitu beasiswa dan orang tua asuh bagi siswa yang tidak mampu dan bantuan untuk guru pedalaman.
Layanan Kesehatan Madani, Klinik kesehatan yang melayani pengobatan dan pemeriksaan kesehatan cuma-cuma bagi pasien tidak mampu, yaitu yang terdiri dari pemeriksaan umum, ibu hamil, gigi dan tibun nabawi (pengobatan cara nabi). Dan program lainnya seperti Bengkel Kemandirian, Kemanusiaan, Bencana dan emergency.
Tema yang diusung dalam rangka mengusung program yang digulirkan oleh DSM Bali adalah “ZAKAT FOR HUMANITY”. Muslim di Bali minoritas, tetapi kemiskinan tidak memandang siapapun mereka. Karena kemiskinan bisa melanda siapapun, dimanapun dalam kondisi apapun. Perbedaan latar belakang tidak menghambat penyaluran zakat, zakat ditujukan untuk golongan mustahik. Siapapun yang masuk dalam golongan itu, berhak atas dana zakat. Di sinilah adalah kasih sayang, dan kemuliaan Islam yang memberi rahmat untuk seluruh alam.
Positioning DSM Bali
Mengentaskan kemiskinan di Bali bukanlah perkara mudah. Tak cukuh hanya dengan bekerja sendirian atau merasa paling bisa dan besar. Maka perlu ada proses sinergi antara DSM Bali dengan pemerintah daerah. DSM Bali dengan lembaga pengelola zakat yang lain baik yang berbasis masyarakat maupun pemerintah (BAZ) sebagaimana pentingnya sinergi dengan lembaga keumatan seperti MUI dan ormas Islam juga organisasi sosial kemasyarakan yang lain. Sinergi inilah yang akan mengakselerasi proses pengentasan kemiskinan. Bentuknya bisa dalam lingkup pemberdayaan mustahik dan kampung miskin. Bisa juga pemetaan penanganan daerah kemiskinan. Departemen agama tentu mempunyai peran strategis disini. Sebagai sebuah institusi pemerintah yang lebih dulu ada sebelum era bertumbuhnya LAZ, dan juga memiliki organisasi pengelola zakat (BAZ), Depag sudah selayaknya memainkan peran sebagai motivator, regulator, fasilitator yang lebih profesional.
DSM Bali yang telah mempunyai lima puluh lebih mitra merchant dan telah dipercaya lebih dari 3 ribu donatur tetap dengan jumlah donasi rata-rata 200 juta per bulan merupakan modal untuk menjaga eksistensi lembaga yang visioner, yaitu perpaduan antara kreatifitas dan inovatif akan semakin memantapkan DSM Bali menjadi lembaga yang profesional, kredibel dan accountable.
Saat ini DSM Bali tidak hanya menggarap zakat dan ke depan DSM akan menggulirkan program fundraising dana selain zakat, seperti infaq sedekah, wakaf, hibah dana CSR (Corporate Social Responsibilty) dan dana sumbangan lainnya yang nominalnya jauh lebih besar daripada dana Zakat. Tahun 2007 DSM telah menerima asset wakaf dan non wakaf seluas 48 are untuk dikelola di wilayah Denpasar dan Negara.
Potensi yang Menggiurkan
Menurut data Kanwil Depag Provinsi Bali jumlah penduduk muslim Bali sekitar 558 ribu jiwa. Jika bedasar data tersebut, maka potensi zakat di Bali mencapai 51 milyar rupiah per tahun. (Lihat Tabel Asumsi Zakat). Hal tersebut diakumulasi dari zakat penghasilan dan zakat fitrah. Potensi Dana Umat ini belum termasuk infaq shadaqah, wakaf, hibah dan lain-lain.
Total pengumpulan ZISWAF oleh DSM Bali pada tahun 2007 sebesar Rp. 2.3 milyar (Pengumpulan ZISWAF terbesar di Bali). Dari angka-angka tersebut bisa disimpulkan bahwa masih banyak potensi Dana Zakat di Bali yang belum terhimpun dengan baik. Dengan dana umat tidak kurang sebesar tiga milyar tiap bulan, maka betapa banyak aset yang bisa dimiliki oleh umat dan berapa banyak program yang bisa digulirkan untuk menyejahterakan masyarakat. Sekarang umat di Bali masih bermimpi untuk mempunyai rumah sakit bebas biaya, sekolah unggulan gratis, mempunyai radio bahkan mempunyai station TV sendiri. Padahal dana ada di depan mata.
Menangkap Potensi, Mengentas Kemiskinan
Mari kita tangkap potensi yang telah terbuka lebar. Angka 51 milyar, belum termasuk beberapa jenis zakat dan juga infak sedekah serta wakaf, adalah jumlah yang luar biasa dan bisa dibayangkan pembangunan fisiknya. Hitung-hitungan sederhananya, jika kita ingin separuh dari dana itu kita ingin gunakan untuk membangun sebuah atau beberapa gedung sekolah gratis untuk anak-anak miskin, maka sudah pasti tahun ini akan terwujud. Sekaligus juga membagunkan asrama untuk anak-anak yang berasal dari berbagai daerah. Setelah usai menempuh pendidikan, mereka dapat kembali ke daerah asal. Tentu dengan kemampuan yang berbeda. Mereka dapat membangun keluarga dan kampung mereka dari hasil pendidikan mereka selama ini. Karena mereka telah dididik untuk kaya. Sisa dari dana 51 milyar bisa kita gunakan untuk pemberdayaan ekonomi para orang tua dhuafa. Memberikan permodalan usaha, sekaligus mengusahakan terpenuhinya tenaga pendidik dan pendamping hingga keluarga itu benar-benar bisa mandiri.
POTENSI ZAKAT DI BALI
Jumlah muslim Bali 500 ribu orang (*) :
Zakat Fitrah:
Asumsi hanya 80% yang membayar zakat yaitu 400 ribu Orang
Apabila zakat fitrah 2,5kg dikonversikan menjadi Rp. 15 ribu/jiwa
Maka total 400.000 x Rp. 15.000 = Rp. 6 Milyar
Zakat Maal:
Asumsi hanya 10% yang membayar zakat yaitu 50 ribu Orang
Apabila tiap wajib zakat rata-rata mengeluarkan zakat Rp. 75 ribu/bulan
Maka total 5000 x Rp.50.ooo = Rp. 3,75 milyar/bulan
Dalam Zakat Setahun 12 x 3,75 M = Rp. 45 Milyar
Maka Total Zakat dalam Setahun Rp. 6 M + 45 M = Rp. 51 Milyar
Tahun pertama, tahap awal pemberdayaan dan optimasi dana ZISWAF telah terpenuhi. Kita tinggal mengulang kesuksesan di tahun kedua. Dengan potensi dana sama besar, atau bisa jadi lebih besar dari 51 milyar. Sebab kita sudah merasakan hasilnya. Penggunaanya pun kita bisa sesuaikan dengan skala prioritas pembangunan, mungkin saja kita ingin membangun rumah sakit terbesar di Bali, gratis khusus dhuafa. Atau membangun sebuah pabrik yang melibatkan tenaga kerja banyak, yang kesemuanya melibatkan tenaga kerja masyarakat miskin. Semuanya mungkin saja terjadi, tinggal butuh konsep perencanaan yang mapan dan disokong oleh SDM yang serius, serta sinergi berbagai steakholder.
Namun sebenarnya ada sedikit persoalan yang cukup menjadi batu sandungan terhadap proses penghimpunan dana ZISWAF di Bali. Semangat pertumbuhan Lembaga Pengelola ZISWAF dalam menghimpun dana dan juga penyalurannya, kurang mendapat tanggapan serius dari pemerintah daerah. Seperti SK pengukuhan LAZ belum ada satupun LAZ di Bali yang mendapat SK dari Pemerintah Daerah. Bisa jadi karena minoritas, sehingga tidak memiliki bargaining power terhadap penguasa daerah. Karenanya, banyak Lembaga Pengelola ZISWAF bergerak berdasar asumsi dan analisa masing-masing.
Jika saja pemerintah daerah memberikan legalitas dan dukungan yang kuat terhadap lembaga-lembaga tersebut, sudah pasti hal ini akan menjadi sinergi yang luar biasa. Lembaga pengelola zakat akan mudah melakukan sosialisasi dan penghimpunan karena pemerintah daerah membuka peluang partisipasi terhadap penyelesaian kemiskinan di Bali. Sebab pada prinsipnya, potensi dana ZISWAF yang begitu besar, merupakan amunisi efektif untuk memberantas kemiskinan dan penyakit sosial lainnya jika terjadi sinergi yang tepat antara Lembaga Pengelola Zakat dan Pemerintah daerah. Tentu diikuti pula oleh sinergi-sinergi dari para penentu keberhasilan lainnya.***
Oleh Akh. Alim Mahdi, Direktur DSM Bali
(Ditulis dalam Buku Gerakan Zakat untuk Indonesia, 2008. Hal: 75 - 82)
Bali lebih dikenal oleh wisatawan mancanegara daripada nama Indonesia. Menyaksikan Bali dari kemasyuran tempat wisatanya seperti Kuta, Sanur, Nusadua, Tanah lot adalah gambaran kemakmuran, eksotis, serba mentereng, megah, mewah, dan bahkan glamor. Potret wisata Bali terutama di daerah Badung dan sebagian Kota Denpasar, seakan mengisahkan Bali bebas dari kontaminasi virus kemiskinan. Sungguh, Bali dari tampilan wajah pariwisatanya, seakan meyakinkan pengunjung bahwa provinsi ini tidak lagi tersentuh kemiskinan. Benarkah sebuah kesimpulan yang hanya berdasarkan kesaksian empiris seperti itu?
Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup yang menggambarkan kekurangan materi, biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, dan kesempatan pendidikan. Menurut Bank Dunia orang dikatakan miskin apabila pendapatannya tidak lebih dari US $2 atau standar kemiskinan oleh BPS adalah ukuran pendapatan US $1 per hari.
Mari kita tengok hasil survey DSM Bali pada tahun 2006. Survei dilakukan selama 3 bulan di 67 kampung/desa di Bali yang meliputi wilayah Karangasem, Klungkung, Gianyar, Bangli, Buleleng, Tabanan, Jembrana, Badung dan Denpasar. Desa/kampung tersebut diambil sebagai lokasi survei berdasarkan banyaknya penduduk muslim yang bertempat tinggal di desa/kampung tersebut dan juga bedasarkan rekomendasi dari tokoh-tokoh muslim di Bali.
Dari hasil survei yang dilakukan, dapat diketahui bahwa dari 413 responden yang meliputi 67 desa/kampung di seluruh Bali, diketahui bahwa sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh/tukang (29,5%), pedagang (21,1%), dan petani (16,5%) dengan penghasilan rata-rata kurang dari 200 ribu/bulan (52,5%) dan sebagian besar memiliki hutang (77,5%). Dilihat dari latar belakang pendidikan, sebagian besar responden telah tamat SD (33,7%) dan tidak tamat SD (27%).
Data BPS 2006 tentang angka kemiskinan di Bali menunjukkan masih cukup tinggi jumlah keluarga miskin di Bali yaitu 147.044 KK. Jumlah terbesar berada di Buleleng, yaitu 47.908 KK. Berikutnya di Karangasem (41.826 KK), Bangli (13.191 KK), Tabanan (11.672 KK), Klungkung (8.460 KK), Gianyar (7.629 KK), Jembrana (6.998 KK), Badung (5.201 KK), dan Denpasar sebanyak 4.159 KK.
Menarik apa yang diungkapkan oleh Ketua DPD Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Bali A.A. Ngurah Gede Widiada. Bahwa, ketergantungan Bali terhadap industri pariwisata sangat jelas dirasakan pada saat Bali mengalami krisis kunjungan wisatawan pascaserangan teroris yang meledakkan bom di Bali. Kenyataannya mayoritas masyarakat miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian dan mayoritas masyarakat Bali adalah petani. Sedangkan proyek pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah diprediksi tak akan menyentuh akar permasalahan. Anggaran yang dialokasikan untuk meningkatkan taraf hidup rumah tangga miskin (RTM) masih dikelola dengan pendekatan politik bahkan masih menjadi media propaganda politik dan pencitraan. Menurutnya, sering gagalnya penanganan kemiskinan akibat strategi yang dilakukan beredar di permukaan bukan melakukan bedah langsung terhadap indikator-indikator kemiskinan. ''Saya melihat penanganan kemiskinan masih menjadi proyek politik bukan keikhlasan membantu RTM keluar dari beban kehidupan. Strateginya pun masih menjauh dari upaya-upaya meningkatkan taraf hidup RTM,'' ujarnya.
Peran LAZ dan Jargon Universal
Dompet Sosial Madani Bali didirikan tahun 2001. Berkhitmat sebagai lembaga nirlaba yang mengelola zakat, infak, sedekah dan wakaf berdasarkan prinsip-prinsip amanah, mandiri, dan profesional guna meningkatkan manfaat nyata bagi kesejahteraan umat. DSM Bali mengambil peran strategis dalam 3 sektor, yaitu pemberdayaan, pengembangan dakwah dan pendidikan dan bantuan kemanusiaan, kesehatan dan emergency. Karena itu core programme DSM Bali adalah Pemberdayaan, Pendidikan dan Kemanusiaan.
Coba kita renungkan kalimat yang berbeda namun bermakna agak mirip “Karena masyarakat bodoh, makanya masyarakat menjadi miskin“, atau kalimat yang ini “Karena masyarakat miskin makanya mereka tidak bisa sekolah dan akhirnya mereka tetap bodoh“ dan yang ini “Karena masyarakat tidak sekolah makanya mereka tetap bodoh dan akhirnya mereka menjadi miskin“.
Kalimat tersebut mengandung makna bahwa persoalan kemiskinan, pendidikan, dan kebodohan adalah satu paket persoalan yang harus dituntaskan bersamaan.
Program unggulan yang DSM Bali tawarkan kepada masyarakat dalam rangka membantu persoalan pendidikan adalah Rumah Asuh Madani, yaitu program pendidikan plus gratis berasrama bagi anak-anak tidak mampu. Beasiswa SIGMA, yaitu beasiswa dan orang tua asuh bagi siswa yang tidak mampu dan bantuan untuk guru pedalaman.
Layanan Kesehatan Madani, Klinik kesehatan yang melayani pengobatan dan pemeriksaan kesehatan cuma-cuma bagi pasien tidak mampu, yaitu yang terdiri dari pemeriksaan umum, ibu hamil, gigi dan tibun nabawi (pengobatan cara nabi). Dan program lainnya seperti Bengkel Kemandirian, Kemanusiaan, Bencana dan emergency.
Tema yang diusung dalam rangka mengusung program yang digulirkan oleh DSM Bali adalah “ZAKAT FOR HUMANITY”. Muslim di Bali minoritas, tetapi kemiskinan tidak memandang siapapun mereka. Karena kemiskinan bisa melanda siapapun, dimanapun dalam kondisi apapun. Perbedaan latar belakang tidak menghambat penyaluran zakat, zakat ditujukan untuk golongan mustahik. Siapapun yang masuk dalam golongan itu, berhak atas dana zakat. Di sinilah adalah kasih sayang, dan kemuliaan Islam yang memberi rahmat untuk seluruh alam.
Positioning DSM Bali
Mengentaskan kemiskinan di Bali bukanlah perkara mudah. Tak cukuh hanya dengan bekerja sendirian atau merasa paling bisa dan besar. Maka perlu ada proses sinergi antara DSM Bali dengan pemerintah daerah. DSM Bali dengan lembaga pengelola zakat yang lain baik yang berbasis masyarakat maupun pemerintah (BAZ) sebagaimana pentingnya sinergi dengan lembaga keumatan seperti MUI dan ormas Islam juga organisasi sosial kemasyarakan yang lain. Sinergi inilah yang akan mengakselerasi proses pengentasan kemiskinan. Bentuknya bisa dalam lingkup pemberdayaan mustahik dan kampung miskin. Bisa juga pemetaan penanganan daerah kemiskinan. Departemen agama tentu mempunyai peran strategis disini. Sebagai sebuah institusi pemerintah yang lebih dulu ada sebelum era bertumbuhnya LAZ, dan juga memiliki organisasi pengelola zakat (BAZ), Depag sudah selayaknya memainkan peran sebagai motivator, regulator, fasilitator yang lebih profesional.
DSM Bali yang telah mempunyai lima puluh lebih mitra merchant dan telah dipercaya lebih dari 3 ribu donatur tetap dengan jumlah donasi rata-rata 200 juta per bulan merupakan modal untuk menjaga eksistensi lembaga yang visioner, yaitu perpaduan antara kreatifitas dan inovatif akan semakin memantapkan DSM Bali menjadi lembaga yang profesional, kredibel dan accountable.
Saat ini DSM Bali tidak hanya menggarap zakat dan ke depan DSM akan menggulirkan program fundraising dana selain zakat, seperti infaq sedekah, wakaf, hibah dana CSR (Corporate Social Responsibilty) dan dana sumbangan lainnya yang nominalnya jauh lebih besar daripada dana Zakat. Tahun 2007 DSM telah menerima asset wakaf dan non wakaf seluas 48 are untuk dikelola di wilayah Denpasar dan Negara.
Potensi yang Menggiurkan
Menurut data Kanwil Depag Provinsi Bali jumlah penduduk muslim Bali sekitar 558 ribu jiwa. Jika bedasar data tersebut, maka potensi zakat di Bali mencapai 51 milyar rupiah per tahun. (Lihat Tabel Asumsi Zakat). Hal tersebut diakumulasi dari zakat penghasilan dan zakat fitrah. Potensi Dana Umat ini belum termasuk infaq shadaqah, wakaf, hibah dan lain-lain.
Total pengumpulan ZISWAF oleh DSM Bali pada tahun 2007 sebesar Rp. 2.3 milyar (Pengumpulan ZISWAF terbesar di Bali). Dari angka-angka tersebut bisa disimpulkan bahwa masih banyak potensi Dana Zakat di Bali yang belum terhimpun dengan baik. Dengan dana umat tidak kurang sebesar tiga milyar tiap bulan, maka betapa banyak aset yang bisa dimiliki oleh umat dan berapa banyak program yang bisa digulirkan untuk menyejahterakan masyarakat. Sekarang umat di Bali masih bermimpi untuk mempunyai rumah sakit bebas biaya, sekolah unggulan gratis, mempunyai radio bahkan mempunyai station TV sendiri. Padahal dana ada di depan mata.
Menangkap Potensi, Mengentas Kemiskinan
Mari kita tangkap potensi yang telah terbuka lebar. Angka 51 milyar, belum termasuk beberapa jenis zakat dan juga infak sedekah serta wakaf, adalah jumlah yang luar biasa dan bisa dibayangkan pembangunan fisiknya. Hitung-hitungan sederhananya, jika kita ingin separuh dari dana itu kita ingin gunakan untuk membangun sebuah atau beberapa gedung sekolah gratis untuk anak-anak miskin, maka sudah pasti tahun ini akan terwujud. Sekaligus juga membagunkan asrama untuk anak-anak yang berasal dari berbagai daerah. Setelah usai menempuh pendidikan, mereka dapat kembali ke daerah asal. Tentu dengan kemampuan yang berbeda. Mereka dapat membangun keluarga dan kampung mereka dari hasil pendidikan mereka selama ini. Karena mereka telah dididik untuk kaya. Sisa dari dana 51 milyar bisa kita gunakan untuk pemberdayaan ekonomi para orang tua dhuafa. Memberikan permodalan usaha, sekaligus mengusahakan terpenuhinya tenaga pendidik dan pendamping hingga keluarga itu benar-benar bisa mandiri.
POTENSI ZAKAT DI BALI
Jumlah muslim Bali 500 ribu orang (*) :
Zakat Fitrah:
Asumsi hanya 80% yang membayar zakat yaitu 400 ribu Orang
Apabila zakat fitrah 2,5kg dikonversikan menjadi Rp. 15 ribu/jiwa
Maka total 400.000 x Rp. 15.000 = Rp. 6 Milyar
Zakat Maal:
Asumsi hanya 10% yang membayar zakat yaitu 50 ribu Orang
Apabila tiap wajib zakat rata-rata mengeluarkan zakat Rp. 75 ribu/bulan
Maka total 5000 x Rp.50.ooo = Rp. 3,75 milyar/bulan
Dalam Zakat Setahun 12 x 3,75 M = Rp. 45 Milyar
Maka Total Zakat dalam Setahun Rp. 6 M + 45 M = Rp. 51 Milyar
(*) data DEPAG Propinsi Bali = 558 ribu
Tahun pertama, tahap awal pemberdayaan dan optimasi dana ZISWAF telah terpenuhi. Kita tinggal mengulang kesuksesan di tahun kedua. Dengan potensi dana sama besar, atau bisa jadi lebih besar dari 51 milyar. Sebab kita sudah merasakan hasilnya. Penggunaanya pun kita bisa sesuaikan dengan skala prioritas pembangunan, mungkin saja kita ingin membangun rumah sakit terbesar di Bali, gratis khusus dhuafa. Atau membangun sebuah pabrik yang melibatkan tenaga kerja banyak, yang kesemuanya melibatkan tenaga kerja masyarakat miskin. Semuanya mungkin saja terjadi, tinggal butuh konsep perencanaan yang mapan dan disokong oleh SDM yang serius, serta sinergi berbagai steakholder.
Namun sebenarnya ada sedikit persoalan yang cukup menjadi batu sandungan terhadap proses penghimpunan dana ZISWAF di Bali. Semangat pertumbuhan Lembaga Pengelola ZISWAF dalam menghimpun dana dan juga penyalurannya, kurang mendapat tanggapan serius dari pemerintah daerah. Seperti SK pengukuhan LAZ belum ada satupun LAZ di Bali yang mendapat SK dari Pemerintah Daerah. Bisa jadi karena minoritas, sehingga tidak memiliki bargaining power terhadap penguasa daerah. Karenanya, banyak Lembaga Pengelola ZISWAF bergerak berdasar asumsi dan analisa masing-masing.
Jika saja pemerintah daerah memberikan legalitas dan dukungan yang kuat terhadap lembaga-lembaga tersebut, sudah pasti hal ini akan menjadi sinergi yang luar biasa. Lembaga pengelola zakat akan mudah melakukan sosialisasi dan penghimpunan karena pemerintah daerah membuka peluang partisipasi terhadap penyelesaian kemiskinan di Bali. Sebab pada prinsipnya, potensi dana ZISWAF yang begitu besar, merupakan amunisi efektif untuk memberantas kemiskinan dan penyakit sosial lainnya jika terjadi sinergi yang tepat antara Lembaga Pengelola Zakat dan Pemerintah daerah. Tentu diikuti pula oleh sinergi-sinergi dari para penentu keberhasilan lainnya.***
Oleh Akh. Alim Mahdi, Direktur DSM Bali
(Ditulis dalam Buku Gerakan Zakat untuk Indonesia, 2008. Hal: 75 - 82)
banyak beramal
ReplyDeleteamatir
Aslmkm..afwan pak bisa gk lembaga ziswaf mengajukan proposal utk ambil dana csr perusahan??? jzkllh
ReplyDelete