Sunday 19 October 2008

Eep Syaifullah Fattah: The Political Quation

Hari minggu kemarin (9 Oktober 2008), saya menghadiri Diskusi Panel Tentang Kepedulian Sosial dan Kesadaran Berbangsa di Mutiara Room, Hotel NIKKI Denpasar dari jam 09.00 Wita – 12.30 Wita. Diskusi yang menampilkan Pengamat Politik Nasional Eep Saifullah Fatah (Jakarta), H. Hasan Basri, SE, MBA (Ketua FUI Bali) dan Ir. H. Maman Supratman (Tokoh Masyarakat, Calon Anggota DPD RI dari Bali) diselenggarakan oleh Forum Umat Islam (FUI) Bali bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali.

Diskusi panel yang dimoderatori oleh Yusar Hilmi ini menghadirkan sekitar 250 orang tokoh Ormas Islam dan Parpol Islam Bali ini cukup menarik dan memberikan wawasan baru. Alhamdulillah saya yang diundang secara pribadi dan mewakili DSM Bali (undangannya ada dua) berkesempatan hadir dan mendapat tempat duduk VIP bersama tokoh-tokoh umat Islam di bagian depan. Saya juga tidak tahu, benar apa tidak tempat duduk saya, wong saya tiba-tiba sama panitia di antar di tempat itu. He.he..

Acara yang dikemas dalam rangka silaturrahim (halal bihalal) tersebut saya coba rangkum dalam tulisan ini dengan harapan bermanfaat bagi umat khususnya dan Bali pada umumnya.


Bumi Dipijak, Langit Dijunjung

Dalam Iftitah Diskusi Panel Tentang Kepedulian Sosial dan Kesadaran Berbangsa, ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bali, H. A Hasan Ali, BA. Menyatakan bahwa Acara Halal Bihalal model sarasehan seperti ini telah di dimulai sejak tahun 2002 sampai sekarang. A. Hasan Ali mengingatkan kembali kepada para peserta diskusi bahwa halal bihalal 2 tahun lalu tepatnya pada bulan Oktober 2006 di Masjid Ibnu Batutah (Komplek Puja Mandala), Nusa Dua Bali. MUI Bali telah merekomendasikan Catur Program Umat (CAPU) sebagai berikut: meningkatkan kualitas beragama, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, meningkatkan Sosial Ekonomi Umat (Ekonomi syari’ah) dan meningkatkan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara. Empat program inilah yang menjadi program utama dan unggulan MUI Propinsi Bali.

Dalam rangka meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. A. Hasan Ali menyatakan perlu kesadaran berpolitik setiap umat Islam di Bali dalam rangka berperan aktif memberikan sumbangsih terhadap Bali. ”Bumi dipijak di sana langit dijunjung” kata A. Hasan Ali. Itulah istilah yang harus diupayakan dalam rangka dalam sumbangsih umat terhadap Bali. Maka dalam mewujudkan hal tersebut segala komponen umat yang ada di Bali, baik ormas Islam, parpol Islam dan tokoh umat Islam di Bali tidak memandang perbedaan harus menjalin kebersamaan.

Dalam kilas balik sejarah Bali tidak terbantahkan lagi bahwa peran Islam untuk Bali telah tercatat dalam sejarah sejak tahun 1460 pada masa kerajaan Gelgel di Klungkung. Oleh karena itu kebersamaan dan keharmonisan amat Islam dan masyarakat hindu di Bali yang lama diperjuangkan pendahulu kita itu harus tetap dijaga.


Bali Memerlukan Corong Umat

Ir. H. Maman Supratman yang juga Calon Anggota DPD RI dari Dapil Bali, didapok sebagai pemateri pertama mengusung tentang Bali Harmoni. Menurut H. Maman Supratman Bali dapat dilihat dari Tataran Nilai dan Tataran Sosial Budaya. Tataran Nilai adalah Bali yang tidak tertandingi keindahannya, alam Bali tidak tertandingi oleh seluruh dunia. Bali menganut nilai-nilai Tri Hitakarana dan Tat Twam Asi yang tetap dipegang oleh orang Bali.

Dalam tataran Sosial Budaya, Bali dengan keterbukaannya tetap melestarikan budaya nyama braya, segilik seguluk, beda paksi bina paksa dan lainnya yang secara universal adalah sangat Islami. Maka dalam sejarah Islam di Bali sejak masuknya Islam ke Kelungkung dan kabupaten lain di Bali pada abad 14 sampai dengan abad 17 masehi tidak lepas dari faktor Penerimaan orang Bali dan faktor Kerukunan yang dibina selama ini.

Jika sekarang terjadi disharmonisasi, apalagi sejak terjadi tragedi Bom Bali oleh orang yang tidak bertanggungjawab itu tidak terlepas dari faktor Intenal dan Eksternal kita sendiri. Maka tugas kitalah untuk mengembalikan keharmonisan antar umat di Bali yang telah diperjuangkan oleh pendahulu kita sejak abad 14 yang lalu. Maka Bali memerlukan corong yaitu hadirnya satu orang Islam sebagai anggota DPD RI dari Bali. ”Jika dari Bali ada empat orang anggota DPD, maka ikhlaskan satu saja untuk orang Islam”. Kata H. Maman Supratman berapi-api.


Berpolitik adalah Warisan Ulama

Nasionalisme itu dilahirkan oleh Islam, maka salah jika membenturkan antara Nasionalisme dan Islam. Itulah yang selama ini dibenturkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam. Jika kita telurusi sejarah bangsa Indonesia, maka pelopor pergerakan-pergerakan nasional yang dibentuk di Indonesia adalah oleh ulama dan tokoh-tokoh Islam misalnya berdirinya Syarikat Dagang Islam (SI) bukannya Boedi Utomo yang hari lahirnya dijadikan Kebangkitan Nasional. Nah lho...

Boedhi Oetomo (BO) didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Seharusnya Momentum Kebangkitan Indonesia adalah berdirinya Syarikat Dagang Islam (SI). Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Demikian pemaparan yang disampaikan oleh panelis kedua. Hasan Basri, SE, MBA (Ketua FUI – Bali). Menyitir tulisan Endang Saefuddin Anshari, Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler, Hasan Basri menambahkan bahwa ”Muslim di Indonesia pasti Nasionalis dan tidak bisa sebaliknya”. dan melanjutkan: ”Politik pada saat lampau diperankan oleh para ulama, maka orang yang berpolitik sekarang adalah orang yang mewarisi ulama. Orang yang alergi dengan politik berarti dia menganggap bahwa Islam belum sempurna”. Ujar Ustad Hasan Basri yang disambut dengan tepuk tangan peserta diskusi.


Kecerdasan Politik

Political Question Quation adalah tema yang diangkat oleh Pengamat Politik Eep Syaifullah Fattah. Analisis-analisis tajamnya sangat memukau dan mencerahkan. Berbicara tentang kancah perpolitikan Partai Islam di Indonesia setelah sepuluh tahun berdemokrasi, perlu kita bertanya tentang apa dampak demokrasi kepada Islam, apa keliruan kita dan apa agenda perbaikan ke depan.

Nilai positif demokrasi setelah renovasi adalah sistem dan tatacara demokrasi Indonesia yang sangat maju tapi hasilnya jauh tidak sebaik tata caranya. Selama mengikuti pemilu di masa reformasi, suara partai-partai Islam atau yang berbasis pemilih Islam apabila dikumpulkan tidak lebih dari 40 persen. Sedangkan 60 persen lebih dikuasai oleh Partai Non Islam. Jika mau jujur mayoritas umat Islam mempunyai kecerdasan yang rendah, dan mempunyai kebiasaan mencari - cari faktor kesalahan dari luar dirinya yaitu dengan menyalahkan orang lain. Dan ini adalah sebuah kekeliruan.

Maka umat Islam harus segera memperbaiki kekeliruan ini. Diperlukan suatu Political Question Quation atau Kecerdasan Politik dari setiap orang muslim. Menciptakan Political Quation dengan cara: Pertama adalah membangun Kesadaran Politik. Kesadaran tiap warga negara tidak terkecuali umat Islam untuk mengetahui hal-hak politik mereka. Kedua Membangkitkan empati umat terhadap hak-hak pribadi dan orang lain. Ketiga adalah menumbuhkan motivasi tiap umat Islam untuk menjaga, melindungi, mempejuangkan hak-hak politiknya, sehingga tiap warga negara menjadi kuat kualitas kewarganegaraannya.

Warga Negara yang berkualitas mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Tahu hak dan menjaganya, 2. Tahu persis hak-hak orang lain dan pandai menunaikan kewajibannya, 3. Bertumpu kepada diri sendiri bukan pada orang lain, jangan hak diri dititipkan kepada orang lain. 4. Setiap orang tidak pasif tapi aktif terhadap setiap permasalahan dan 5. Mempunyai kemampuan untuk 'melawan' ketika hak-haknya diciderai. Ingat loh! Melawan berbeda dengan emosial! Melawan berarti perlu strategi, perencanaan dan pemikiran yang matang.

Maka ketika kita berkelompok, bangunlah 'barisan' bukan 'kerumunan'. Kita sering senang membuat organisasi tetapi tidak senang membuat jaringan. Berpolitik tidak harus semua jadi caleg atau aleg. Dan atau tidak harus partai berkuasa, tidak mungkin semua menjadi eksekutif atau kepala daerah. Berpolitik berarti masuk dalam kelompok untuk mengambil peluang, yaitu 'merebut kekuasaan' atau 'mempengaruhi kebijakan'. Organisasi yang mempunyai jaringan kuatlah akan memenangi pertarungan.

Ingatlah kemenangan partai Islam FIS (Islamic Salvation Front) atas partai sekuler FLN (National Liberation Front) dalam pemilu parlemen Al Jazair di penghujung 1991. FIS yang merupakan representasi kekuatan muslim terpelajar Al Jazair menang telak dalam pemilu parlemen dengan perolehan 188 kursi (82 %) dari 231 kursi. Tak puas menerima kekalahan, rezim otoriter Al Jazair dukungan Barat menganulir kemenangan tersebut. Kendati diulang, pemilu kedua kalinya masih dimenangkan FIS. FIS saat itu tidak mempunyai banyak kantor dan kantornyapun seadanya. Ternyata kunci kemenangannya adalah kuatnya jaringan yang dimiliki. Jaringan kasat mata melalui masjid-masjid. Di masjid-masjid itulah para da'i menanamkan kesadaran akan hak-hak warga negara dalam khutbah-khutbah jum'at mereka. Bagaimana di Indonesia? Masjid-masjid di Indonesia telah mengalami pelucutan-pelucutan fungsi yang sejatinya dari masjid itulah seharusnya pusat peradaban Islam dibangun.

Terakhir kang Eep bercerita. Ketika Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela dalam posisi di atas dan sangat populer dan dicintai rakyatnya sampai jika Mandela mencalonkan kembali dalam Pemilu hampir 100% rakyat akan memilihnya kembali. Namun Mandela memilih untuk tidak mencalonkan lagi. Seorang wartawan bertanya kepada Mandela: "Kenapa Anda memilih untuk tidak mecalonkan lagi padahal Anda ada jalan lebar untuk berkuasa kembali?". Mandela manjawab: "Saudaraku, berkuasa atau tidak, bisa sama artinya. Karena penguasa yang tidak bertanggungjawab nilainya kalah dengan warga negara biasa yang bertanggungjawab". Lanjut sang Mandela: "Maka ijinkanlah saya menjadi warga negara biasa yang bertanggungjawab!". pintanya. Wallahu'alam

4 komentar:

  1. Menarik ya acaranya. Salam kenal semua..

    ReplyDelete
  2. Political Quation kali ... bukan "Question." Political Question itu artinya pertanyaan politik. Saya gak tahu, yang salah Eep atau yg punya blog ini.

    ReplyDelete
  3. @ moeflich: hehehe... ini salahnya yang punya blog pak.
    Baru nyadar sekarang, terimakasih sudah mengingatkan pak.
    Kapan-kapan mampir lagi ya...

    ReplyDelete

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"