Friday, 30 December 2011

Ternyata, Kita Suka Meributkan Hal-hal Kecil dalam Keluarga

Saat saya menghadiri undangan Seminar Keluarga di Sumbawa Besar, NTB (Minggu, 25 Desember 2011), seorang peserta menyampaikan di forum tentang fenomena banyaknya perceraian di wilayah tersebut, yang dipicu oleh hal-hal kecil atau sepele. Menurutnya, sebagian besar kasus perceraian terjadi bukan disebabkan oleh persoalan besar, namun justru dari persoalan kecil dalam kehidupan keseharian.



Ungkapan itu disampaikan untuk menegaskan apa yang saya sampaikan di forum, tentang pentingnya konsisten terhadap visi keluarga. Sepanjang saya tahu, semua keluarga dibentuk dengan visi yang indah. Seorang lelaki mengikat janji setia dengan seorang perempuan, dalam sebuah ikatan sakral, sesuai aturan agama dan negara. Agama menyebut akad nikah sebagai “mitsaqan galizha”, ikatan yang kokoh, oleh karenanya tidak boleh dirusak dengan semena-mena.

Banyak Konflik Bermula dari Hal Kecil
Begitulah realitas yang sangat mudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Konflik antara suami dan isteri sangat banyak bermula dari hal-hal kecil dan tidak esensial. Demikian pula antara orang tua dengan anak-anak. Saat memasuki jenjang pernikahan, suami dan isteri telah berjanji untuk melangkahkan kaki menuju kehidupan yang diliputi oleh kebahagiaan, mencapai kondisi sakinah, mawadah wa rahmah, menuju surga dunia dan akhirat. Namun visi besar tersebut seakan hilang setelah menghadapi berbagai problematika kehidupan riil.
Saya segera teringat buku Richard Charlson, Ph.D yang berjudul Don’t Sweat the Small Stuff with Your Family. Ternyata corak persoalan keluarga dimana-mana sama saja. Bukan hanya di Sumbawa, Jawa, Sumatera atau Indonesia pada umumnya. Di Amerika pun terjadi hal yang sama, bahwa banyak keluarga sering meributkan hal-hal kecil. Persoalan rutin, yang terjadi sebagai konsekuensi dari interaksi, komunikasi dan penunaian tugas serta kewajiban berumah tangga, yang semestinya sudah akrab dan mudah ditoleransi, namun kenyataannya justru menjadi pemantik munculnya konflik.

Terlalu banyak hal kecil yang diributkan. Terlalu banyak persoalan sederhana yang dibesar-besarkan. Terlalu banyak urusan-urusan sepele yang menyita perhatian. Karena menyaksikan fenomena seperti itu, Carlson segera membuat sebuah kesimpulan yang menarik :

“Orang yang belajar untuk tidak memusingkan masalah-masalah kecil yang terjadi dalam kehidupan keluarga dan rumah, akan memiliki ambang toleransi yang sangat lebar dalam hidupnya. Mereka tidak mau membuang-buang energinya hanya untuk merasa terganggu dan frustrasi, dan lebih banyak mencurahkan energinya untuk bersenang-senang, untuk kegiatan produktif, dan untuk melimpahkan kasih sayang”.
“Bila hal-hal kecil tidak terlalu mengganggu anda, keluarga anda akan tampaksebagai sumber kebahagiaan daripada sebelumnya. Anda akan lebih sabar dan santai. Hidup anda tampak lebih menyenangkan. Anda akan merasa bahwa beban anda lebih ringan dan tidak terlalu mengganggu dan akan merasa bahwa hidup anda lebih harmonis. Perasaan damai ini akan menyebar dan akan mempengaruhi anggota lainnya dalam keluarga anda”.

Fenomena “Menit Terakhir”
Sebagai contoh, Carlson mengungkapkan banyaknya ketegangan keluarga yang terjadi pada menit-menit terakhir. Misalnya, menjelang berangkat rekreasi, menjelang berangkat kerja, menjelang berangkat sekolah, menjelang berangkat melaksanakan ibadah, dan lain sebagainya, mereka mengalami stress karena adanya ketidaksiapan. Misalnya menjelang anak-anak berangkat sekolah, ada baju seragam yang belum disiapkan, dan memerlukan waktu lama untuk mencari dimana baju seragam tersebut. Si anak merasa telah menyimpan baju di almari pakaian, namun kata ibu baju seragam tersebut mungkin tertinggal di sekolah pekan kemarin saat ada kegiatan ekstra kurikuler.

Saat menjelang berangkat kerja, suami sibuk mencari kaus kaki yang belum lama dibelinya. Ia yakin telah menaruh kaus kaki tersebut di tempat biasanya, namun kata isterinya mungkin saja kaus kaki tersebut masih tertinggal di mobil dan belum dikeluarkan saat membongkar barang belanjaan kemarin. Suami menjadi uring-uringan karena khawatir terlambat masuk kerja. Ia menyalahkan isterinya karena menganggap tidak cekatan membantu menyiapkan keperluannya.

Saat menjelang berangkat rekreasi, yang seharusnya diliputi suasana bahagia, namun bisa menjadi sedikit rusak suasana itu karena anak-anak tampak bersantai-santai saja dan tidak segera bersiap-siap. Apalagi untuk contoh keluarga besar seperti saya, kondisi seperti itu menjadi menu rutin setiap hari. Saya harus sabar mengingatkan enam orang anak agar bersegera siap berangkat pada jam yang telah kami sepakati. Anak pertama belum mandi, anak kedua sedang asyik di depan komputer mengerjakan tugas kampus, anak ketiga sedang main game di handphone, anak keempat sudah rapi siap berangkat, sedangkan anak kelima dan keenam masih bermain-main di halaman belakang rumah.

Jika tidak sabar atas kondisi seperti itu, akan memunculkan stress dan ketegangan pada menit-menit terakhir. “Kan sudah dari kemarin dibilangin, bahwa jam sembilan pagi ini kita harus sudah berangkat dari rumah. Kenapa sampai sekarang kalian masih santai-santai saja begini ?  Jadi ke rumah nenek apa tidak sih ?” Orang tua bisa meledak emosinya oleh jawaban-jawaban ringan yang disampaikan anak, atau oleh cueknya mereka seakan-akan mereka tidak pernah mendengar omelan orang tua sama sekali.
Dalam kehidupan sehari-hari, sangat banyak kejadian seperti itu, terutama pada menit-menit terakhir sebelum berkegiatan. Untuk itu Carlson menganjurkan agar keluarga menyisihkan waktu ekstra sepuluh menit untuk menghindari ketegangan pada menit-menit terakhir tersebut. Artinya, kita harus siap lebih awal, paling tidak sepuluh menit sebelum jadwal yang seharusnya kita lakukan. Jika berangkat ke kantor jam tujuh pagi dari rumah, artinya jam tujuh kurang sepuluh menit harus sudah siap berangkat. Dengan demikian persiapan untuk berangkat harus diperkirakan agar jam tujuh kurang sepuluh menit sudah berada dalam kesiapan untuk berangkat kerja.

Toleran dengan Kekurangan
Tidak ada seorang suami atau seorang isteri yang sempurna. Semua manusia memiliki kekurangan dan kelemahan. Banyak sekali kekurangan yang sangat manusiawi, namun ternyata memicu pertengkaran suami dengan isteri, atau orang tua dengan anak. Hanya karena kurang bisa mendengar dengan jelas apa isi omongan suami, sang isteri dimarahi oleh suami dengan berlebihan, bahkan ditambah dengan kata-kata celaan dan makian.

“Dasar tuli. Punya telinga apa tidak sih ? Aku sudah berteriak kamu tetap tidak mendengar omonganku”, ungkap suami dengan ketus. 

Tentu saja itu adalah kata-kata yang tidak proporsional dan berlebihan. Bukankah sangat manusiawi kalau isteri kadang tidak mendengar dengan jelas kata-kata suami, karena ia lagi sibuk mengurus anak, atau di rumah sedang bising karena suara televisi, atau karena suami bicaranya memang kurang jelas.

Hanya karena suami tidak segera memenuhi permintaan isteri untuk membantu urusan dapur, isteri marah-marah dan akhirnya mendiamkan suami beberapa hari. Contoh-contoh tersebut sering terjadi dalam kehidupan keluarga, yang menandakan rata-rata kita kurang toleran terhadap berbagai kekurangan yang ada pada pasangan. Hanya karena persoalan kecil, bisa meledak menjadi pertengkaran dan konflik berkepanjangan, yang tentu saja sangat tidak produkif.
Maka bersikaplah toleran terhadap kekurangan dan kelemahan pasangan. Bukan berarti tidak melakukan usaha perbaikan, namun sekuat dan sehebat apapun usaha kita untuk menjadi baik dan sempurna, tetap saja kita memiliki kekurangan dan kelemahan. Tidak ada manusia sempurna, apalagi dalam konteks komunikasi dan interaksi sehari-hari. Selalu saja ada titik-titik singgung yang tidak sesuai harapan. 
Kadang suami menghendaki isterinya cepat mengerti tanpa harus banyak dijelaskan, demikian pula isteri menghendaki suami cepat tanggap tanpa harus diminta. Keinginan seperti ini sering tidak menjadi kenyataan, sehingga berbuntut pikiran negatif kepada pasangan.
“Isteri saya memang telmi. Kalau diajak bicara tidak pernah nyambung”, kata seorang suami kepada temannya.
“Suami saya tidak memiliki rasa kepedulian sama sekali terhadap urusan rumah tangga. Saya sampai jungkir balik mengurus keperluan rumah tangga, ia santai dan malah duduk saja di depan televisi”, keluh seorang isteri.

Ya, itulah contoh persoalan-persoalan kecil yang selalu muncul dalam kehidupan keluarga, yang bermula dari kekurangan dan kelemahan kita sebagai manusia. Maka toleranlah terhadap adanya kekurangan dan kelemahan pasangan, agar tidak meributkan hal-hal sepele yang muncul darinya. Semua dari kita pasti memiliki kekurangan dan kelemahan, berdamailah dengan kondisi itu.

Selamat berakhir tahun bersama keluarga. Semoga akhir tahun anda semua bahagia, karena tidak meributkan hal-hal kecil dalam kelurga. (Cahyadi Takariawan)

11 komentar:

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"