Thursday, 7 May 2009

Tragedi dan Skandal Pendidikan Kita

By Zaim Saidi*
Entah apa reaksi Anda membaca berita ini: biaya pendidikan tinggi kita sampai strata 1 (sarjana), segera mencapai di atas Rp 500 juta. Mulai dari Universitas Indonesia di Jakarta sampai Universitas Hassanudin (Unhas) di Makasar, seolah berlomba mematok tarif tinggi. Uang pangkalnya saja, untuk Fak. Kedokteran UI, misalnya, adalah Rp 400 juta, sedang SPP Fak Kedokteran Unhas total Rp 100 juta. Memang ini untuk jalur “nonsubsidi”, tapi biaya kuliah jalur biasa pun akan mencapai puluhan juta rupiah.

Padahal, biaya mahal pendidikan ini bukan hanya di tingkat perguruan tinggi. Banyak sekolah, termasuk ’Sekolah-Sekolah Islam’, di sekitar kita kini menjajakan dagangan bertarif premium. Sudah biasa kalau uang pangkal yang dipasang untuk jenjang dari Pra-TK, TK, SD, SLTP, sampai SLTA, secara total mencapai Rp 100-Rp 150 juta. SPP sudah tergolong standar kalau dipatok Rp 750 ribu-Rp 1.5 juta/bulan. Maka, untuk meluluskan seorang anak sampai SLTA, orang tua harus membayar sampai Rp 200-300 juta. Untuk sampai sarjana pun total biaya bisa mencapai Rp 700 – Rp 800 juta/anak! Bagaimana kalau dua, tiga, atau lebih banyak anak lagi?

Sementara itu lihatlah hasilnya: data Biro Pusat Statistik menunjukkan fakta bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang di negeri ini semakin tinggi kemungkinan menganggurnya. Persentase sarjana yang menganggur lebih tinggi dari lulusan D3, yang lebih tinggi dari lulusan D2, begitu seterusnya. Sebabnya, bukan karena alasan link and match, kesesuaian keahlian dan kesempatan kerja, yang tak terpenuhi, melainkan karena semakin tinggi pendidikan sesorang semakin dungu life-skill-nya (keprigelan hidup). Padahal, bukankah keprigelan hidup itu adalah fitrah seseorang? Bukankah ini menunjukkan bahwa ’pendidikan’ yang dijajakan pada kita saat ini justru merusak kapasitas fitrah anak-anak kita? Dan harus dibayar dengan mahal pula?

Islam mengajarkan kita sesuatu yang berbeda. Rasulullah SAW menegaskan bahwa penularan pengetahuan, pengajaran dan pendidikan, merupakan bagian dari layanan sosial. Membagi pengetahuan adalah sedekah jariah. Universitas-universitas Islam, seperti Al Azhar di Cairo, Zaituna di Tunis, Qarawiyyin di Fez, dan Nizamiyya di Bagdad, adalah contoh-contoh penyedia layanan pendidikan bermutu dan sepenuhnya dibiayai oleh wakaf. Kebutuhan seluruh civitas academica di situ, baik untuk kegiatan akademik maupun kehidupan pribadi, dijamin oleh institusi wakaf. Tidak perlu kita katakan lagi, tentu saja, pesantren dan madrasah-madrasah kita di masa lalu, dalam konteks dan sekala berbeda, mengalami hal serupa.
Begitulah, satu bukti berjalannya amaliah kaum Muslimin, di mana pun mereka berada, adalah tersedianya pendidikan bermutu dan murah. Pendidikan mahal – apalagi tidak bermutu - bagi seorang Muslim adalah sebuah tragedi, dan bahkan skandal sekaligus. Betapa tidak?

Pertama, Rasulullah SAW menyatakan bahwa satu di antara tiga sedekah jariah yang tidak putus pahalanya, selain membesarkan anak saleh dan menafkahkan harta-jariah, seperti telah disinggung sebelumnya, adalah amal ilmu pengetahuan. Dengan kata lain pendidikan itu sendiri, dan dengan demikian persekolahan itu sendiri, adalah sebentuk jariah. Menjadikan ilmu pengetahuan, pendidikan dan persekolahan, sebagai komoditi dagangan, dengan demikian, sangat menjauhi ajaran Rasul SAW. Kedua, keperluan sarana dan prasarana pendidikan, sebagai bagian tak terpisahkan dari jariah pengetahuan, seharusnya dipenuhi pula dari jariah pula, yakni harta wakaf.
Kalau saat ini perwakafan kita dalam keadaan mati, atau salah kelola, tugas kitalah untuk menghidupkannya, atau merestorasinya, kembali. Bukan malah menggantikannya dengan memperdagangkan pengetahuan itu, yang seharusnya merupakan lahan jariah itu sendiri.::.

*Direktur Tabung Wakaf Indonesia

Related Posts:

  • Orang Miskin, Bukan Sekadar AngkaOrang Miskin, Bukan Sekadar AngkaWahyu SusiloHari ini, 17 Oktober 2007, diperingati sebagai Hari Penanggulangan Kemiskinan Sedunia. Dalam dua tahun terakhir, kita selalu disuguhi sengketa statistik tentang turun-naiknya angka… Read More
  • Tahun 2008: Angka Kemiskinan Menurun? Fantastik…, angka kemiskinan menurun menjadi 15,42 persen. Kita perlu memberikan apresiasi kepada pemerintah atas hal ini. Sebagaimana pada Selasa (1/7/08), BPS melansir angka kemiskinan per Maret 2008 mencapai 34,96 juta ji… Read More
  • Pendidikan... Oh PendidikanPendidikan adalah mutlak bagi generasi kita. Karena mutlaknya itu, maka tak satupun dari generasi itu boleh terlantar hingga tak sekolah. Hal ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang yang melihat fenomena terpuruknya pend… Read More
  • BLT, Rawan Konflik SosialBantuan Langsung Telas, Itulah bahasa plesetan orang Bali dari kalimat Bantuan Langsung Tunai kepanjangan dari BLT. Bahkan dari beberapa spanduk demo menolak kenaikan BBM ada yang bertuliskan “Bantuan Langsung Tewas”. Dan ban… Read More
  • Andai Pahlawan Penakluk ‘DAVOS’ itu SBY, Presiden kita!Rakyat Indonesia sambut kepulangan SBY atas keberaniannya melawan kecongkakan Perez di Davos. Maka, negara mana lagi yang akan meniru keberanian Indonesia?Itulah bentuk dukungan kepada Perdana Menteri Turki , Recep Tayep Erd… Read More

0 komentar:

Post a Comment

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"