By Zaim Saidi*
Entah apa reaksi Anda membaca berita ini: biaya pendidikan tinggi kita sampai strata 1 (sarjana), segera mencapai di atas Rp 500 juta. Mulai dari Universitas Indonesia di Jakarta sampai Universitas Hassanudin (Unhas) di Makasar, seolah berlomba mematok tarif tinggi. Uang pangkalnya saja, untuk Fak. Kedokteran UI, misalnya, adalah Rp 400 juta, sedang SPP Fak Kedokteran Unhas total Rp 100 juta. Memang ini untuk jalur “nonsubsidi”, tapi biaya kuliah jalur biasa pun akan mencapai puluhan juta rupiah.
Padahal, biaya mahal pendidikan ini bukan hanya di tingkat perguruan tinggi. Banyak sekolah, termasuk ’Sekolah-Sekolah Islam’, di sekitar kita kini menjajakan dagangan bertarif premium. Sudah biasa kalau uang pangkal yang dipasang untuk jenjang dari Pra-TK, TK, SD, SLTP, sampai SLTA, secara total mencapai Rp 100-Rp 150 juta. SPP sudah tergolong standar kalau dipatok Rp 750 ribu-Rp 1.5 juta/bulan. Maka, untuk meluluskan seorang anak sampai SLTA, orang tua harus membayar sampai Rp 200-300 juta. Untuk sampai sarjana pun total biaya bisa mencapai Rp 700 – Rp 800 juta/anak! Bagaimana kalau dua, tiga, atau lebih banyak anak lagi?
Sementara itu lihatlah hasilnya: data Biro Pusat Statistik menunjukkan fakta bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang di negeri ini semakin tinggi kemungkinan menganggurnya. Persentase sarjana yang menganggur lebih tinggi dari lulusan D3, yang lebih tinggi dari lulusan D2, begitu seterusnya. Sebabnya, bukan karena alasan link and match, kesesuaian keahlian dan kesempatan kerja, yang tak terpenuhi, melainkan karena semakin tinggi pendidikan sesorang semakin dungu life-skill-nya (keprigelan hidup). Padahal, bukankah keprigelan hidup itu adalah fitrah seseorang? Bukankah ini menunjukkan bahwa ’pendidikan’ yang dijajakan pada kita saat ini justru merusak kapasitas fitrah anak-anak kita? Dan harus dibayar dengan mahal pula?
Islam mengajarkan kita sesuatu yang berbeda. Rasulullah SAW menegaskan bahwa penularan pengetahuan, pengajaran dan pendidikan, merupakan bagian dari layanan sosial. Membagi pengetahuan adalah sedekah jariah. Universitas-universitas Islam, seperti Al Azhar di Cairo, Zaituna di Tunis, Qarawiyyin di Fez, dan Nizamiyya di Bagdad, adalah contoh-contoh penyedia layanan pendidikan bermutu dan sepenuhnya dibiayai oleh wakaf. Kebutuhan seluruh civitas academica di situ, baik untuk kegiatan akademik maupun kehidupan pribadi, dijamin oleh institusi wakaf. Tidak perlu kita katakan lagi, tentu saja, pesantren dan madrasah-madrasah kita di masa lalu, dalam konteks dan sekala berbeda, mengalami hal serupa.
Begitulah, satu bukti berjalannya amaliah kaum Muslimin, di mana pun mereka berada, adalah tersedianya pendidikan bermutu dan murah. Pendidikan mahal – apalagi tidak bermutu - bagi seorang Muslim adalah sebuah tragedi, dan bahkan skandal sekaligus. Betapa tidak?
Pertama, Rasulullah SAW menyatakan bahwa satu di antara tiga sedekah jariah yang tidak putus pahalanya, selain membesarkan anak saleh dan menafkahkan harta-jariah, seperti telah disinggung sebelumnya, adalah amal ilmu pengetahuan. Dengan kata lain pendidikan itu sendiri, dan dengan demikian persekolahan itu sendiri, adalah sebentuk jariah. Menjadikan ilmu pengetahuan, pendidikan dan persekolahan, sebagai komoditi dagangan, dengan demikian, sangat menjauhi ajaran Rasul SAW. Kedua, keperluan sarana dan prasarana pendidikan, sebagai bagian tak terpisahkan dari jariah pengetahuan, seharusnya dipenuhi pula dari jariah pula, yakni harta wakaf.
Kalau saat ini perwakafan kita dalam keadaan mati, atau salah kelola, tugas kitalah untuk menghidupkannya, atau merestorasinya, kembali. Bukan malah menggantikannya dengan memperdagangkan pengetahuan itu, yang seharusnya merupakan lahan jariah itu sendiri.::.
*Direktur Tabung Wakaf Indonesia
Entah apa reaksi Anda membaca berita ini: biaya pendidikan tinggi kita sampai strata 1 (sarjana), segera mencapai di atas Rp 500 juta. Mulai dari Universitas Indonesia di Jakarta sampai Universitas Hassanudin (Unhas) di Makasar, seolah berlomba mematok tarif tinggi. Uang pangkalnya saja, untuk Fak. Kedokteran UI, misalnya, adalah Rp 400 juta, sedang SPP Fak Kedokteran Unhas total Rp 100 juta. Memang ini untuk jalur “nonsubsidi”, tapi biaya kuliah jalur biasa pun akan mencapai puluhan juta rupiah.
Padahal, biaya mahal pendidikan ini bukan hanya di tingkat perguruan tinggi. Banyak sekolah, termasuk ’Sekolah-Sekolah Islam’, di sekitar kita kini menjajakan dagangan bertarif premium. Sudah biasa kalau uang pangkal yang dipasang untuk jenjang dari Pra-TK, TK, SD, SLTP, sampai SLTA, secara total mencapai Rp 100-Rp 150 juta. SPP sudah tergolong standar kalau dipatok Rp 750 ribu-Rp 1.5 juta/bulan. Maka, untuk meluluskan seorang anak sampai SLTA, orang tua harus membayar sampai Rp 200-300 juta. Untuk sampai sarjana pun total biaya bisa mencapai Rp 700 – Rp 800 juta/anak! Bagaimana kalau dua, tiga, atau lebih banyak anak lagi?
Sementara itu lihatlah hasilnya: data Biro Pusat Statistik menunjukkan fakta bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang di negeri ini semakin tinggi kemungkinan menganggurnya. Persentase sarjana yang menganggur lebih tinggi dari lulusan D3, yang lebih tinggi dari lulusan D2, begitu seterusnya. Sebabnya, bukan karena alasan link and match, kesesuaian keahlian dan kesempatan kerja, yang tak terpenuhi, melainkan karena semakin tinggi pendidikan sesorang semakin dungu life-skill-nya (keprigelan hidup). Padahal, bukankah keprigelan hidup itu adalah fitrah seseorang? Bukankah ini menunjukkan bahwa ’pendidikan’ yang dijajakan pada kita saat ini justru merusak kapasitas fitrah anak-anak kita? Dan harus dibayar dengan mahal pula?
Islam mengajarkan kita sesuatu yang berbeda. Rasulullah SAW menegaskan bahwa penularan pengetahuan, pengajaran dan pendidikan, merupakan bagian dari layanan sosial. Membagi pengetahuan adalah sedekah jariah. Universitas-universitas Islam, seperti Al Azhar di Cairo, Zaituna di Tunis, Qarawiyyin di Fez, dan Nizamiyya di Bagdad, adalah contoh-contoh penyedia layanan pendidikan bermutu dan sepenuhnya dibiayai oleh wakaf. Kebutuhan seluruh civitas academica di situ, baik untuk kegiatan akademik maupun kehidupan pribadi, dijamin oleh institusi wakaf. Tidak perlu kita katakan lagi, tentu saja, pesantren dan madrasah-madrasah kita di masa lalu, dalam konteks dan sekala berbeda, mengalami hal serupa.
Begitulah, satu bukti berjalannya amaliah kaum Muslimin, di mana pun mereka berada, adalah tersedianya pendidikan bermutu dan murah. Pendidikan mahal – apalagi tidak bermutu - bagi seorang Muslim adalah sebuah tragedi, dan bahkan skandal sekaligus. Betapa tidak?
Pertama, Rasulullah SAW menyatakan bahwa satu di antara tiga sedekah jariah yang tidak putus pahalanya, selain membesarkan anak saleh dan menafkahkan harta-jariah, seperti telah disinggung sebelumnya, adalah amal ilmu pengetahuan. Dengan kata lain pendidikan itu sendiri, dan dengan demikian persekolahan itu sendiri, adalah sebentuk jariah. Menjadikan ilmu pengetahuan, pendidikan dan persekolahan, sebagai komoditi dagangan, dengan demikian, sangat menjauhi ajaran Rasul SAW. Kedua, keperluan sarana dan prasarana pendidikan, sebagai bagian tak terpisahkan dari jariah pengetahuan, seharusnya dipenuhi pula dari jariah pula, yakni harta wakaf.
Kalau saat ini perwakafan kita dalam keadaan mati, atau salah kelola, tugas kitalah untuk menghidupkannya, atau merestorasinya, kembali. Bukan malah menggantikannya dengan memperdagangkan pengetahuan itu, yang seharusnya merupakan lahan jariah itu sendiri.::.
*Direktur Tabung Wakaf Indonesia
0 komentar:
Post a Comment
Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com
Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"