Pendidikan adalah mutlak bagi generasi kita. Karena mutlaknya itu, maka tak satupun dari generasi itu boleh terlantar hingga tak sekolah. Hal ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang yang melihat fenomena terpuruknya pendidikan kita. Bangkitnya pembangunan sosial dari arus bawah tidak boleh terhenti pada langkah-langkah normatif, empati dan semangat memperbaiki an sich. Tapi harus masuk pada tataran eksekusi program yang dirasakan langsung oleh kalangan miskin baik yang bersifat instan maupun pengentasan.
Pendidikan di negeri ini tumbuh dan berkembang layaknya debu di musim kemarau. Banyak, namun semakin ke atas, ke atas dan tak tersentuh oleh kalangan tak berpunya. Menjadikan sebuah angan yang kian meredub dikikis oleh ketiadaan penghasilan. Seorang kawan pernah menunda pendidikan anaknya untuk masuk ke sekolah dasar. Lantaran biaya yang harus dibayarnya tak mampu dijangkau oleh cucuran keringat kerjanya. Ironis, karena ia bekerja pada sebuah lembaga penyedia beasiswa. Bukan sebab oleh tak ada alokasi, namun lebih dari pada harga diri yang tak tergadaikan. Namun sesungguhnya yang dipertanyakan adalah, mengapa kini bianya sekolah jadi berlipat-lipat hingga sulit terjamah?!
Pendidikan kini dikelola dengan sangat modern. Fasilitas gedung dan alat-alat peraga serba representatif dan hightech. Tata kelolanya dibuat senyaman mungkin bagi anak didik untuk belajar. Ruangan ber AC. Halaman luas lengkap dengan fasilitas bermain. Katanya, inilah sebab mengapa pendidikan mahal. Seorang ayah berfikir, oh, rupanya pendidikan sekarang sudah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan bagi para pemilik modal. Bisnis pendidikan, istilahnya. Kalau bisnis, berarti sangat kecil peluang untuk bisa berempati terhadap masuknya anak dhuafa agar bisa merasakan fasilitas pendidikan elit itu. Bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali peluangnya. Akhirnya, anak-petani sekolah apa adanya di sekolah yang kurang bermutu. Yang belajarnya ala kadarnya. Atau bahkan memilih tidak sekolah. Saya jadi teringat sekolahnya lintang dan kawan-kawan di cerita Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Miris.
Pendidikan oh pendidikan. Di Bali, kata banyak berita di televisi dan koran lokal, banyak anak remaja melakukan aksi bunuh diri dengan cara gantung diri atau menenggak racun serangga. Sebabnya ada yang frustasi dengan pacar, nunggak biaya sekolah dan tak kunjung diberi oleh orang tua, dan ada juga karana tak diberi uang jajan. Memilukan. Pendidikan di negeri ini kurang memperhatikan pembentukan mental anak didiknya. Bahkan lebih banyak memarginalkan pendidikan mental-spiritual. Apakah sudah sedemikian timpang pendidikan kecerdasan dan pendidikan moralitas?
Pendidikan mutlak harus dibenahi. Tidak untuk diperingati harinya saja setiap setahun sekali. Tapi siapapun yang hari ini merasa tidak puas dengan pendidikan anak-anak kita, ayo kita lawan momok-momok pendidikan: mahalnya biaya, kualitas rendah, rendahnya perhatian pendidikan mental spiritual. Partisipasi masyarakat dalam meminimalkan momok-momok itu adalah modal sosial yang menjadi senjata ampuh kebangkitan pendidikan di negeri ini. (Direktur DSM Bali)
Pendidikan di negeri ini tumbuh dan berkembang layaknya debu di musim kemarau. Banyak, namun semakin ke atas, ke atas dan tak tersentuh oleh kalangan tak berpunya. Menjadikan sebuah angan yang kian meredub dikikis oleh ketiadaan penghasilan. Seorang kawan pernah menunda pendidikan anaknya untuk masuk ke sekolah dasar. Lantaran biaya yang harus dibayarnya tak mampu dijangkau oleh cucuran keringat kerjanya. Ironis, karena ia bekerja pada sebuah lembaga penyedia beasiswa. Bukan sebab oleh tak ada alokasi, namun lebih dari pada harga diri yang tak tergadaikan. Namun sesungguhnya yang dipertanyakan adalah, mengapa kini bianya sekolah jadi berlipat-lipat hingga sulit terjamah?!
Pendidikan kini dikelola dengan sangat modern. Fasilitas gedung dan alat-alat peraga serba representatif dan hightech. Tata kelolanya dibuat senyaman mungkin bagi anak didik untuk belajar. Ruangan ber AC. Halaman luas lengkap dengan fasilitas bermain. Katanya, inilah sebab mengapa pendidikan mahal. Seorang ayah berfikir, oh, rupanya pendidikan sekarang sudah menjadi lahan bisnis yang menjanjikan bagi para pemilik modal. Bisnis pendidikan, istilahnya. Kalau bisnis, berarti sangat kecil peluang untuk bisa berempati terhadap masuknya anak dhuafa agar bisa merasakan fasilitas pendidikan elit itu. Bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali peluangnya. Akhirnya, anak-petani sekolah apa adanya di sekolah yang kurang bermutu. Yang belajarnya ala kadarnya. Atau bahkan memilih tidak sekolah. Saya jadi teringat sekolahnya lintang dan kawan-kawan di cerita Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Miris.
Pendidikan oh pendidikan. Di Bali, kata banyak berita di televisi dan koran lokal, banyak anak remaja melakukan aksi bunuh diri dengan cara gantung diri atau menenggak racun serangga. Sebabnya ada yang frustasi dengan pacar, nunggak biaya sekolah dan tak kunjung diberi oleh orang tua, dan ada juga karana tak diberi uang jajan. Memilukan. Pendidikan di negeri ini kurang memperhatikan pembentukan mental anak didiknya. Bahkan lebih banyak memarginalkan pendidikan mental-spiritual. Apakah sudah sedemikian timpang pendidikan kecerdasan dan pendidikan moralitas?
Pendidikan mutlak harus dibenahi. Tidak untuk diperingati harinya saja setiap setahun sekali. Tapi siapapun yang hari ini merasa tidak puas dengan pendidikan anak-anak kita, ayo kita lawan momok-momok pendidikan: mahalnya biaya, kualitas rendah, rendahnya perhatian pendidikan mental spiritual. Partisipasi masyarakat dalam meminimalkan momok-momok itu adalah modal sosial yang menjadi senjata ampuh kebangkitan pendidikan di negeri ini. (Direktur DSM Bali)
Memang benar bahwa ilmu itu mahal, tapi semoga bukan hanya orang berduit yang bisa menikmati pendidikan. Amien...!!
ReplyDelete