Suatu siang aku melihat-lihat pemandangan yang membentang luas di sepanjang jalan dari rumahku di pinggiran ibukota, hingga kantor gubernur di Balai Kota. bendera-bendera beraneka warna, indah dipandang mata, kuhitung satu per satu dan kureka-reka, ada tiga puluh empat jumlahnya, kutanyai ibu, yang berjalan gontai di sebelahku; “bu, ibu. bendera partaikah itu?” “bukan, bukan. itu bendera pabrik kecap manis, anakku” (Arif Mahmudi)
Sang Ibu dalam sajak-sajak Arif Mahmudi itu memang sangatlah hafal bendera-bendera itu. Sampai-sampai ia menyebut partai-partai itu sebagai “pabrik kecap manis”. Berpuluh-puluh tahun hidup, janji yang bertaburan saat Pemilu tiba hanyalah berupa kecap manis pemanis bibir. Tak satupun ada yang bisa mengubah nasib keluarganya yang telah puluhan tahun jatuh pada kubang kemiskinan.
Sang Ibu itu seolah mewakili duka dan pilu seluruh penduduk miskin di Indonesia yang pada 2008 lalu meningkat menjadi 41 juta jiwa dari tahun sebelumnya sebesar 37 juta jiwa. Angka tersebut sebagai dampak dari ketidakmandirian Indonesia akan pangan, energi, dan keuangan terhadap kemiskinan dan penggangguran.
Sayangnya, angka itu tak menggoyahkan aksi para calon-calon pemimpin negeri ini untuk berjualan kecap manis, mengobral janji-janji fatamorgana. Seoalah begitu mudahnya mengatasi persoalan bangsa ini, sehingga menyelesaikannya tanpa dibarengi dengan kompetensi dan kapabelitas yang memadai. Sementara begitu mudahnya masyarakat terbuai dengan tawaran-tawaran semu yang menggiurkan.
Apa jadinya jika bangsa ini dipimpin oleh orang-orang pemain sandiwara kehidupan yang tidak memiliki karakter dan arah kerja yang jelas? Wahai para calon pemimpin, belajarlah pada cuplikan kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab ra.
Pernah suatu kali Umar bin Khattab r.a mendengar bahwa salah seorang anaknya membeli cincin bermata seharga seribu dirham. ia segera menulis surat teguran kepadanya dengan kata-kata sebagai berikut: "Aku mendengar bahwa engkau membeli cincin permata seharga seribu dirham. Kalau hal itu benar, maka segera juallah cincin itu dan gunakan uangnya untuk mengenyangkan seribu orang yang lapar, lalu buatlah cincin dari besi dan ukirlah dengan kata-kata, Semoga Allah merahmati orang yang mengenali jati dirinya."
Ada lagi, Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab r.a membutuhkan uang untuk keperluan pribadi. ia menghubungi Abdurrahman bin 'Auf, sahabat yang tergolong kaya, untuk meminjam uang 400 dirham. Abdurrahman bertanya, "mengapa engkau meminjam dari saya? Bukankah kunci baitul maal (kas negara) ada di tanganmu? mengapa engkau tidak meminjam dari sana?" Umar r.a menjawab, Aku tidak mau meminjam dari baitul maal. Aku takut pada saat maut merenggutku, engkau dan segenap kaum muslimin menuduhku sebagai pemakai uang baitul maal. Dan kalau hal itu terjadi, di akhirat amal kebajikanku pasti dikurangi. Sedangkan kalau aku meminjam dari engkau, jika aku meninggal sebelum aku melunasinya, engkau dapat menagih utangku dari ahli warisku."
Begitulah Umar Bin Khattab. Negeri ini membutuhkan Umar Umar yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik. Memiliki pemimpin yang bisa mendengar keluh kesah masyarakat kemudian memberikan solusi mencerahkan. Pastikan, kita bisa menemukan pemimpin itu.
.::.Alim Mahdi.::.
Sang Ibu dalam sajak-sajak Arif Mahmudi itu memang sangatlah hafal bendera-bendera itu. Sampai-sampai ia menyebut partai-partai itu sebagai “pabrik kecap manis”. Berpuluh-puluh tahun hidup, janji yang bertaburan saat Pemilu tiba hanyalah berupa kecap manis pemanis bibir. Tak satupun ada yang bisa mengubah nasib keluarganya yang telah puluhan tahun jatuh pada kubang kemiskinan.
Sang Ibu itu seolah mewakili duka dan pilu seluruh penduduk miskin di Indonesia yang pada 2008 lalu meningkat menjadi 41 juta jiwa dari tahun sebelumnya sebesar 37 juta jiwa. Angka tersebut sebagai dampak dari ketidakmandirian Indonesia akan pangan, energi, dan keuangan terhadap kemiskinan dan penggangguran.
Sayangnya, angka itu tak menggoyahkan aksi para calon-calon pemimpin negeri ini untuk berjualan kecap manis, mengobral janji-janji fatamorgana. Seoalah begitu mudahnya mengatasi persoalan bangsa ini, sehingga menyelesaikannya tanpa dibarengi dengan kompetensi dan kapabelitas yang memadai. Sementara begitu mudahnya masyarakat terbuai dengan tawaran-tawaran semu yang menggiurkan.
Apa jadinya jika bangsa ini dipimpin oleh orang-orang pemain sandiwara kehidupan yang tidak memiliki karakter dan arah kerja yang jelas? Wahai para calon pemimpin, belajarlah pada cuplikan kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab ra.
Pernah suatu kali Umar bin Khattab r.a mendengar bahwa salah seorang anaknya membeli cincin bermata seharga seribu dirham. ia segera menulis surat teguran kepadanya dengan kata-kata sebagai berikut: "Aku mendengar bahwa engkau membeli cincin permata seharga seribu dirham. Kalau hal itu benar, maka segera juallah cincin itu dan gunakan uangnya untuk mengenyangkan seribu orang yang lapar, lalu buatlah cincin dari besi dan ukirlah dengan kata-kata, Semoga Allah merahmati orang yang mengenali jati dirinya."
Ada lagi, Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab r.a membutuhkan uang untuk keperluan pribadi. ia menghubungi Abdurrahman bin 'Auf, sahabat yang tergolong kaya, untuk meminjam uang 400 dirham. Abdurrahman bertanya, "mengapa engkau meminjam dari saya? Bukankah kunci baitul maal (kas negara) ada di tanganmu? mengapa engkau tidak meminjam dari sana?" Umar r.a menjawab, Aku tidak mau meminjam dari baitul maal. Aku takut pada saat maut merenggutku, engkau dan segenap kaum muslimin menuduhku sebagai pemakai uang baitul maal. Dan kalau hal itu terjadi, di akhirat amal kebajikanku pasti dikurangi. Sedangkan kalau aku meminjam dari engkau, jika aku meninggal sebelum aku melunasinya, engkau dapat menagih utangku dari ahli warisku."
Begitulah Umar Bin Khattab. Negeri ini membutuhkan Umar Umar yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik. Memiliki pemimpin yang bisa mendengar keluh kesah masyarakat kemudian memberikan solusi mencerahkan. Pastikan, kita bisa menemukan pemimpin itu.
.::.Alim Mahdi.::.