Friday, 23 April 2010

Ayah Bangga padamu Nak! (Belajar Empati)

Aku seorang ayah dari anak perempuan berumur 11 tahun yang manis dan cerdas bernama Dhira. Suatu pagi Dhira berkata padaku, ”Ayah, aku akan habiskan bubur ini, asalkan ayah mau mengabulkan permintaanku dan berjanji untuk mempercayaiku…” Aku cukup heran mendengar permintaannya itu. Biasanya Dhira memang tidak pernah mau menghabiskan bubur buatan bundanya.

Dhira malah pernah berkata bahwa memakan bubur itu adalah siksaan fisik terberat baginya. Bubur itu memang tampak tidak menarik, tetapi racikan resep keluarga turun-temurun itu kami yakini sangatlah berguna untuk pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. Istriku, bundanya Dhira, selalu saja jengkel setiap kali berurusan dengan hal ini, Dhira tidak pernah mau memakan bubur itu, paling banyak ia hanya makan 5 suap dan kemudian kabur !

”Oke, asalkan kau habiskan bubur itu dan tidak membuat bundamu jengkel hari ini. Tapi jangan minta sesuatu yang mahal-mahal, ya. Dua minggu lalu kamu kan baru saja berulang tahun dan kamu baru saja dapat hadiah-hadiah,” jawabku.
”Baik ayah! Tidak…tidak mahal koq! Yang penting ayah tepati janji ayah ini” sahut Dhira sambil tersenyum padaku. Dhira mulai mengangkat mangkuk buburnya dan mulai makan.

Tampak sekali raut wajah keterpaksaan dan penderitaan. Sedikit demi sedikit Dhira memakan bubur itu. Berulang kali ia harus berhenti untuk menahan agar tidak memuntahkannya kembali. Dalam benakku sempat kubertanya-tanya apa yang membuat Dhira rela tersiksa dan memaksa diri sekuat tenaga untuk menghabiskan bubur itu. Beberapa saat kemudian Dhira selesai. Aku kagum karena mangkuknya benar-benar bersih. Tak ada bekas! Istriku dan nenek Dhira turut bertepuk tangan karena hal itu. Ternyata mereka turut menonton apa yang Dhira lakukan tanpa kusadari.

Setelah minum ia menghampiriku dan berkata, ”Nah, ayah janji akan kabulkan permintaanku kan?”
”Oh, pasti sayangku, katakanlah,”jawabku.
Dhira membisikkan sesuatu ke telingaku… Aku terhenyak, ”Mana bisa Dhira…permintaanmu itu konyol! Ayah tak mungkin kabulkan itu!”

”Tapi, ayah sudah janji!”teriak Dhira sambil mulai menangis. Istriku dan nenek Dhira menghampiri, mereka bertanya tentang apa yang terjadi. ”Mana mungkin ayah dapat kabulkan permintaan itu sayang? Mencukur gundul kepalamu adalah permintaan yang tidak masuk akal!” sahutku kemudian.

Istri dan nenek Dhira terbelalak, mereka mulai marah pada Dhira, mereka bertanya apa alasan Dhira. Tapi Dhira hanya menangis dan berteriak-teriak menjawab berulang-ulang, ”Ayah sudah janji! Ayah sudah janji!”

Dalam keributan itu aku tersadar, ”Ya, aku sudah berjanji pada Dhira, permintaannya memang aneh, tetapi tidak mahal, dan di atas semua itu aku berjanji untuk mempercayai Dhira… Ya, janji adalah janji. Jika aku ingin Dhira menjadi seorang yang teguh memegang janji, maka aku harus tepati janjiku!”
Akhirnya, tanpa sadar, kata-kataku berikutnya menghentikan keributan itu… ”Baik! Ayah akan kabulkan. Ayah percaya padamu, Dhira!”
Dhira berhenti menangis, ia menoleh, tersenyum dan langsung berlari memeluk-ku, ”Terima kasih ayah!”

Dalam sisa hari itu, Dhira benar-benar bahagia. Ia terus mengumbar senyum dan berdendang. Istriku begitu jengkel padaku, apalagi sepulang dari cukur rambut. Wajah nenek Dhira tampak kecewa dengan terus mengelus-elus dada, istriku pun kembali marah padaku. Dhira tetap bahagia dan terus menjawab, “Ayah percaya padaku, bunda. Tenang saja,“ setiap kali bundanya bertanya apa alasannya mencukur gundul kepalanya.
Esok harinya, kuantar Dhira ke sekolah seperti biasa, sepanjang jalan ia tersenyum dan bernyanyi-nyanyi. Ingin aku bertanya pada Dhira apa alasannya tapi aku tak kuasa. Sampai di sekolah kulihat Dhira melambai-lambaikan tangan pada seorang anak lelaki yang juga baru turun dari mobilnya. ”Boby!” teriak Dhira.
Setelah mobil berhenti, Dhira mencium tanganku dan berkata, ”Terima kasih Ayah” tak pernah kulihat pancaran mata sebahagia itu. Dhira berlari-lari kecil menghampiri bocah yang bernama Boby tadi. Sesaat kemudian baru kusadari bahwa kepala Boby juga gundul licin!

Aku terkesima dan keluar dari mobil, aku pun tak sadar kalau ada seorang ibu yang tiba-tiba telah berada di sampingku dan menyalamiku. ”Bapak ayahnya Dhira kan?” tanyanya sambil menyalamiku. Aku hanya mengangguk dengan penuh tanda tanya. ”Terima kasih pak, bapak pasti bangga pada Dhira…” ucap ibu itu. ”Oh…eh iya” jawabku terbata-bata.

”Boby itu anak saya, pak” kata ibu itu ”Ia menderita kanker dan kini rambutnya rontok habis karena kemoterapi yang dijalaninya sejak sebulan lalu” jelasnya.
”Jumat lalu Boby menolak untuk sekolah, karena banyak teman yang mengejek kepala gundulnya itu. Kemudian Dhira menelpon kami hari Sabtunya. Ia berusaha mengajak Boby masuk sekolah, Dhira sampai berjanji akan menggunduli rambutnya yang panjang itu agar Boby mau masuk sekolah dan tidak takut diejek oleh teman-temannya lagi. Dan hari ini, Dhira menepati janjinya. Sekali lagi terima kasih, pak” cerita ibu itu. Aku terpaku, hingga tak sadar air mataku menetes… Dalam benak aku bergumam,”Dhira, ayah bangga padamu”.

.::.
Sumber: Ummu Saif
.::.

2 komentar:

  1. menyentuh hati....semoga cerita ini bisa menjadi tauladan bagi anak2 kita

    ReplyDelete
  2. sangat tersentuh sekali saat membaca sambil di renungkan ..

    ReplyDelete

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"