Thursday 21 August 2008

Cabut Remisi bagi Koruptor

KORUPTOR tak lagi leluasa seperti di masa silam. Kebiasaan menyogok penegak hukum untuk memperoleh perlakuan khusus semakin tertutup. Setiap celah yang membuka kemungkinan adanya keistimewaan disumbat satu per satu.
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi mewacanakan seragam bagi tahanan kasus korupsi kini bermunculan sejumlah usul. Misalnya, hukuman mati atau kerja sosial bagi koruptor.

Ada koruptor dikirim ke Nusakambangan seperti Bob Hasan. Sebagian lain dikirim ke penjara Sukamiskin, Bandung, seperti Probosutedjo dan dan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Semua itu dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera.

Sejak 2006, dibuat aturan agar koruptor tak mudah dilepas dari bui. Pemberian remisi dan asimilasi yang sering menimbulkan tanda tanya kian diperketat khusus bagi narapidana empat kasus, yakni korupsi, narkotik, pembalakan liar, dan terorisme. Dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006, ada pasal yang mengatur tentang pemberian remisi dan asimilasi bagi koruptor, penjahat pembalakan liar, narkotik, dan terorisme. Bagi narapidana umum, remisi sudah boleh diberikan jika terpidana telah menjalani masa hukuman enam bulan. Namun bagi koruptor, narapidana narkoba, pembalakan liar, dan terorisme, remisi baru diberikan setelah menjalani 1/3 masa hukuman.

Adapun asimilasi bagi narapidana umum sudah bisa diberikan setelah menjalani setengah masa hukuman. Namun bagi koruptor, penjahat narkoba, pembalakan liar, dan terorisme, asimilasi hanya boleh diterima setelah menjalani 2/3 masa hukuman.
Dan kini pemerintah melangkah lebih keras lagi. Koruptor yang diadili dan dihukum setelah 2007 tidak mendapat remisi bertepatan dengan peringatan HUT ke-63 kemerdekaan RI pada 2008 ini. Sebuah keputusan yang juga dikenakan kepada penjahat narkoba, pembalakan liar, dan terorisme. Empat kejahatan itu memang sepatutnya tidak mendapat remisi dan asimilasi betapa pun mereka memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara. Itu karena kelakuan baik yang dipertontonkan di bui hanya untuk mengejar remisi dan asimilasi. Setelah menghirup udara bebas, mereka mengulangi kejahatan yang sama.

Kasus David Nusa Wijaya, pengemplang dana BLBI sebesar Rp1,2 triliun dan dihukum empat tahun, bisa pergi ke luar negeri setelah mendapat bebas bersyarat. Dia akhirnya dibawa kembali ke Tanah Air. Artalyta Suryani, tersangka yang sedang dikurung di tahanan Bareskrim Polri, masih leluasa menelepon Urip Tri Gunawan--jaksa yang disuapnya--untuk mengatur strategi jawaban di pengadilan.

Koruptor adalah pengidap kleptomania, suka mencuri. Sebagian ahli kejiwaan menyebut koruptor mengidap kelainan jiwa. Karena itu, sangat berbahaya jika para koruptor berada di luar bui. Mereka harus diberi hukuman maksimal, tanpa remisi dan tanpa asimilasi. Mereka sudah mengeruk uang negara yang menimbulkan kerugian bagi jutaan rakyat sehingga tidak pantas mendapat keistimewaan.

Memang penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun, penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan termasuk mendapat remisi dan asimilasi. Menghukum seseorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, melainkan juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok bui agar mengurungkan niat merampok uang negara.

Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Oleh karena itu, penghapusan remisi bagi koruptor merupakan keputusan yang layak diterapkan.

(Sumber: Editorial Media Indonesia)

3 komentar:

  1. Aku setuju dgn pendapatmu bro ^^!

    ReplyDelete
  2. betul ituh! percuma mah koruptor kalo cuman dipenjara. mendingan dia tetep suru kerja, tapi jadi kuli dan tanpa gaji sampe dia bisa bayar utang negara! lumayan kan?

    ReplyDelete
  3. @ goOut & Fenny. Sekalian diberdayakan di dalam penjara ya..

    ReplyDelete

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"