PEMILIHAN kepala daerah kini tidak melulu menghasilkan kemenangan dan kekalahan bagi para calon. Tetapi juga melahirkan orang sakit jiwa.
Yang terjadi pada Yuli Nursanto alias Yuli Goong merupakan bukti empiris.
Yuli adalah calon Bupati Ponorogo periode 2005-2010. Berpasangan dengan Achmad Soenarno yang didukung Partai Persatuan Pemban
Tidak sekadar kalah, Yuli juga terbelit utang. Sebelum pencalonan bupati, Yuli meminjam uang hingga hampir mencapai Rp3 miliar. Inilah modal memuluskan jalan menjadi orang nomor satu di Ponorogo. Maksud hati memeluk gunung, apa daya dia kalah telak.
Tagihan pinjaman pun datang bertubi-tubi. Ia tak bisa membayarnya. Tangan hukum pun berbicara. Ia menjadi pesakitan di pengadilan.
Ditambah deraan berbagai soal lain yang terus menekan, daya tahan fisik, mental, dan sosial Yuli jebol. Tingkah lakunya mulai aneh-aneh. Tak jarang ia mulai cengar-cengir sendirian tanpa alasan. Ia kemudian berteriak-teriak histeris. Bahkan, mulai kerap turun ke jalan raya mengenang saat-saat kampanye pilkada dengan penampilan lebih mencolok hanya mengenakan celana dalam. Itu pun sesekali ia perosotkan di depan khalayak. Ia tentu bebas melakukannya karena sudah gila.
Fenomena Yuli selain menggelikan sangat memprihatinkan. Secara leksikal ia telah menjelajahi spektrum gila dari yang konotatif hingga yang denotatif. Artinya dari gila jabatan, gila kekuasaan, gila hormat, hingga menjadi gila beneran. Gila secara psikiatris.
Kita khawatir yang terjadi pada Yuli berpotensi pula terjadi pada banyak orang yang maju dalam pemilihan umum untuk menjadi kepala daerah hingga presiden. Kita juga khawatir fenomena yang sama menimpa mereka yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, dari pusat hingga daerah.
Sejarah sebaiknya mencatat Yuli, sebagai calon bupati pertama yang menjadi gila beneran setelah mengikuti pilkada langsung di sebuah negeri yang tergolong negara demokrasi terbesar di dunia. Pertanyaannya adalah mengapa hanya Yuli sendiri yang pada akhirnya menjadi gila secara denotatif, secara psikiatris?
Padahal meminjam uang miliaran rupiah, hipotetis juga dilakukan orang lain yang maju dalam pilkada, baik yang kemudian menang maupun kalah.
Mungkin Yuli tidak belajar dari yang sukses maupun yang gagal. Yaitu, sanggup melupakan janji. Yang gagal melupakan janji membayar utang, bahkan mungkin membuat janji baru sampai berhasil dalam pilkada berikutnya. Bukankah kegagalan merupakan kesuksesan yang tertunda? Dengan sikap ini, sekalipun kalah dan tertimbun utang, tak sampai gila betulan.
Sebaliknya, yang menang melupakan janji kampanye. Sebab, janji itu terlalu banyak, terlalu berat, terlalu muluk untuk dilaksanakan sehingga bisa membuat mereka gila sungguhan seperti Yuli.
Yuli, jangan-jangan adalah orang yang teguh memegang janji dan karena itu membuatnya gila. Sedangkan lainnya ingkar janji dan itu justru membuatnya tetap normal. Jadi, siapa yang sesungguhnya gila secara hakiki? Ini pertanyaan yang sangat mengerikan untuk bangsa ini.
(Sumber: Editorial Media Indonesia)
Yang terjadi pada Yuli Nursanto alias Yuli Goong merupakan bukti empiris.
Yuli adalah calon Bupati Ponorogo periode 2005-2010. Berpasangan dengan Achmad Soenarno yang didukung Partai Persatuan Pemban
Tidak sekadar kalah, Yuli juga terbelit utang. Sebelum pencalonan bupati, Yuli meminjam uang hingga hampir mencapai Rp3 miliar. Inilah modal memuluskan jalan menjadi orang nomor satu di Ponorogo. Maksud hati memeluk gunung, apa daya dia kalah telak.
Tagihan pinjaman pun datang bertubi-tubi. Ia tak bisa membayarnya. Tangan hukum pun berbicara. Ia menjadi pesakitan di pengadilan.
Ditambah deraan berbagai soal lain yang terus menekan, daya tahan fisik, mental, dan sosial Yuli jebol. Tingkah lakunya mulai aneh-aneh. Tak jarang ia mulai cengar-cengir sendirian tanpa alasan. Ia kemudian berteriak-teriak histeris. Bahkan, mulai kerap turun ke jalan raya mengenang saat-saat kampanye pilkada dengan penampilan lebih mencolok hanya mengenakan celana dalam. Itu pun sesekali ia perosotkan di depan khalayak. Ia tentu bebas melakukannya karena sudah gila.
Fenomena Yuli selain menggelikan sangat memprihatinkan. Secara leksikal ia telah menjelajahi spektrum gila dari yang konotatif hingga yang denotatif. Artinya dari gila jabatan, gila kekuasaan, gila hormat, hingga menjadi gila beneran. Gila secara psikiatris.
Kita khawatir yang terjadi pada Yuli berpotensi pula terjadi pada banyak orang yang maju dalam pemilihan umum untuk menjadi kepala daerah hingga presiden. Kita juga khawatir fenomena yang sama menimpa mereka yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, dari pusat hingga daerah.
Sejarah sebaiknya mencatat Yuli, sebagai calon bupati pertama yang menjadi gila beneran setelah mengikuti pilkada langsung di sebuah negeri yang tergolong negara demokrasi terbesar di dunia. Pertanyaannya adalah mengapa hanya Yuli sendiri yang pada akhirnya menjadi gila secara denotatif, secara psikiatris?
Padahal meminjam uang miliaran rupiah, hipotetis juga dilakukan orang lain yang maju dalam pilkada, baik yang kemudian menang maupun kalah.
Mungkin Yuli tidak belajar dari yang sukses maupun yang gagal. Yaitu, sanggup melupakan janji. Yang gagal melupakan janji membayar utang, bahkan mungkin membuat janji baru sampai berhasil dalam pilkada berikutnya. Bukankah kegagalan merupakan kesuksesan yang tertunda? Dengan sikap ini, sekalipun kalah dan tertimbun utang, tak sampai gila betulan.
Sebaliknya, yang menang melupakan janji kampanye. Sebab, janji itu terlalu banyak, terlalu berat, terlalu muluk untuk dilaksanakan sehingga bisa membuat mereka gila sungguhan seperti Yuli.
Yuli, jangan-jangan adalah orang yang teguh memegang janji dan karena itu membuatnya gila. Sedangkan lainnya ingkar janji dan itu justru membuatnya tetap normal. Jadi, siapa yang sesungguhnya gila secara hakiki? Ini pertanyaan yang sangat mengerikan untuk bangsa ini.
(Sumber: Editorial Media Indonesia)
pilkada bener-bener aneh emang, ada yang gila, ada yang kena serangan jantung.. bener-bener judi jadinya..hiduo jadi pertaruhan.
ReplyDeletePilkada... hmmmm... susah ya, yang jujur ya jujur.... yang engga ya ngaku jujur
ReplyDelete