Sunday 17 October 2010

Sepenggal khitbah untuk akhwat fillah

Semilir angin berhembus di kesunyian. Sunyi yang kuharapkan akan memberikan ketenangan dalam membuat suatu keputusan. Sungguh sangat sulit mengambil keputusan itu. Bahkan mungkin takkan mampu ku penuhi permintaan itu. Ku lihat dan ku baca lagi.

“Ukhti, sekiranya tidak merepotkan Anti, sudilah Ukh memilihkan buat saya perhiasan dunia yang akan menggenapkan dien saya. Pasangan yang akan menghantarkan dan menyertai saya hingga ke jannah-Nya !”

Halaman 1 dari 7
Sejenak ku alihkan pandanganku dari untaian tulisan itu. Sunyi mulai menepi berganti gemersik dedaunan seolah ingin memberikan satu jawaban. Segenap pikiran mulai ku curahkan, mencoba mencari jawaban dari setiap kata yang ia tuliskan.

“Afwan, mungkin kedatangan surat ini cukup mengagetkan Anti. Bisa jadi pula ukhti memandang prosedur seperti ini kurang tepat. Tapi, ukh sendiri mungkin tahu bagaimana fisik murobbiku saat ini. Astagfirullah, bukan maksud saya memandang lemah semangat beliau karena fisik. Tapi kecelakaan lalu-lintas yang dialami beliau sebulan lalu menyebabkan saya tidak tega untuk meminta pertolongannya saat ini. Sedangkan saya butuh keputusan segera karena alhamdulillah saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri dalam tahun ini. Ukhti teman lama yang sudah saya kenal, jadi kepada ukhtilah saya percaya dan berani meminta bantuan.”

Akhi…ya saya bisa memahami apa yang akhi rasakan. Tapi bukan karena keberatan memberi bantuan. Bukan pula karena ketidakpercayaan saya pada akhi. Ada hal lain yang sulit dimengerti. Entah kenapa akhir-akhir ini perasaanku ada yang berbeda. Ya Allah…, kenapa hati ini senantiasa bergetar ketika mendengar namanya. Bukankah selayaknya getaran ini muncul ketika mendengar nama-Mu?

Ku simpan kembali secarik kertas yang memberi bekas di hatiku. Ada luka. Kenapa bukan kepadaku, kenapa malah minta bantuanku? Ingin rasanya aku berikan secarik kertas tersebut pada murobiyahku. Angan melayang membayangkan indahnya tawaran murobiyah untukku. Sungguh…kan kuterima tanpa syarat!. Astaghfirullah…ada apa ini?

Sudah seminggu surat tersebut mengendap di kamarku. Hampir setiap saat kubaca tapi tak pernah sanggup ku jawab. Keegoisanku tetap bertahan. Aku tak rela jika mutiara hati yang telah lama bersemi ku tawarkan pada orang lain. Sungguh aku ingin memilikinya sendiri. Hanya untukku.

Surat kedua ? Hatiku berdegup keras menerima surat ini. Perlahan ku buka dan ku baca.

“Puji syukur saya panjatkan pada Ilahi Robbi. Ukhti, setelah beberapa lama berfikir keras, akhirnya ada satu penyesalan. Sungguh penyesalan yang sangat besar. Afwan, semoga ukhti belum mendapatkan bidadari yang ku inginkan. Saya cabut kembali permintaan surat pertama. Sungguh saya minta maaf. Mohon Ukh tidak marah atau kecewa atas kelancangan surat tersebut.”

Akhi, tak ada sedikitpun kemarahanku padamu. Ia hanyalah harapan yang kian padam. Perisai-perisai diri ini semakin pecah karena resah akan lepasnya sang panah. Panah yang ku harap tertancap pada diriku. Tepat di atas ulu hatiku yang telah lama memendam rindu. Rindu untuk bersatu yang tak pernah berani ku tawarkan padamu. Bukanlah engkau yang bersalah, tetapi akulah yang terlalu egois mengutamakan perasaanku.

***

Halaman 2 dari 7
“Nisa, kenapa sih akhir-akhir ini kami kelihatan tidak fokus?“ Anis teman liqoku tiba-tiba bertanya heran, „kamu banyak melamun akhir-akhir ini!“

“Mmm…eh tidak, tidak apa-apa.“ Jawabku pelan.

“Nisa sayang, kita sudah lama berteman. Hmm, nyaris lima tahun semenjak masuk kuliah dulu. Di majelis kholaqoh ini pula kita disatukan. Kasih sayang Allah telah menjadikan kita sudah seperti saudara. Jadi jika ada masalah, seandainya itu baik buat kamu, saya siap menjadi tempat curahan segenap isi hatimu!”.

Deras air mengalir dalam kegundahan hatiku. Tak terbendung dalam diriku sehingga menetes keluar di antara kedua mataku. Aku menunduk tak berdaya.

“Jika itu berat buat ukhti, marilah kita pikul sama-sama beban itu!“ satu ketegasan tawaran terlontar lagi di mulut sahabatku. Sungguh iman telah menjadikan kita seperti saudara, “Silahkan ukh, saya siap menjadi pendengar yang baik!“

“Anis, beban berat ini tak pantas disandang oleh orang lain karena ini hanyalah penyakit hati. Sungguh malu saya ini tatkala orang lain disibukkan dengan perjuangan-perjuangan dakwah, sedang aku memikirkan hal-hal yang rendah!“

“Sayang, sekecil atau sebesar apapun masalah, semuanya bisa merusak jalan dakwah jika tidak dianggap sebagai bagian dari dakwah!“ tatapan tajam Nisa menusuk ulu hatiku.

“Sampaikanlah apa masalahmu, jika malu anggaplah aku ini cermin sehingga engkau merasa bebas mencurahkan isi hatimu, bukankan kamu bilang kalau kamu suka berbicara sendiri di depan cermin?“

“Jazakillah ukh, rahmat Allah semoga senantiasa menyertaimu!“ Jawabku.

Seraya menatap lembaran mushaf di depan kami, akhirnya aku ceritakan keadaan yang menimpaku saat ini. Anis hanya terdiam dan kadang-kadang mengangguk-angguk sambil mengusap-usap punggungku sehingga membuatku nyaman untuk bercerita.

***

Halaman 3 dari 7
Dua minggu telah berlalu. Hari ini kami mengadakan pengajian gabungan. Alhamdulillah, ini biasanya momen yang paling aku tunggu karena saya bisa bertemu dengan rekan-rekan pengajian lainnya. Biasanya dalam pengajian tersebut, posisi duduk teman satu kelompok liqo’ dipisahkan dengan alasan supaya kami lebih berbaur dengan kelompok lain.

Pengajian gabungan kali ini diisi oleh murobbiyahku sendiri, Teh Nizma. Ada hal yang lebih menarik dari pengajian gabungan kali ini, yaitu tema yang diangkat adalah „Menjadi Bidadari“. Entah kenapa setiap ada tema yang berkaitan dengan materi merah jambu, semua akhwat selalu antusias mengikutinya. Mungkin memang sudah masanya.

Sebagai sosok murobbiyah yang sekaligus ibu rumah tangga, dalam penyampaian materi ini Teh Nizma terlihat terampil sekali. Alur materi mengalir lancar dan mudah dimengerti. Kadang diselingi canda yang membuat kami semakin antusias mendengarkannya.

Seperti biasa setelah selesai materi, sesi berikutnya adalah tanya jawab. Banyak sekali yang mengajukan pertanyaan. Dari sekian banyak pertanyaan tersebut, ada satu pertanyaan yang menggelitik pikiranku.

“Teh, hehe…afwan, kadang ada keinginan dalam diri saya untuk menawarkan diri agar dinikahi kepada ikhwan yang benar-benar saya cintai. Apakah hal ini merupakan perbuatan yang tercela mengingat kita berposisi sebagai seorang wanita?” tanya penanya tersebut penuh percaya diri. Kontan saja pertanyaan ini membuat peserta lainnya saling melirik dan tersenyum simpul penuh makna. Ada juga yang mengangguk-angguk tanpa sadar seolah-olah dirinyalah yang bertanya. Aku pun memberikan reaksi berbeda. Bingung dan malu. Entah kenapa aku merasakan bahwa akulah sang penanya yang sebenarnya.

***

Halaman 4 dari 7
“Hmm…silahkan cari, adakah hukum yang melarang seorang akhwat untuk nembak duluan?“ Mba Nizma balik bertanya.

“Eh…hmm…ya…nggak ada sih, atau…eh nggak tahu deh Mbak, hehe!“ Jawab si penanya kelihatan gugup.

Kutengok sosok penanya tersebut. Ya ampun, ternyata Anis yang menanyakan hal itu. Kenapa sosok pendiam itu berani bertanya hal seperti itu? Apa dia memang punya niat demikian, atau…entahlah.

“Adekku sekalian, jika penawaran diri seorang wanita untuk dinikahi oleh laki-laki yang soleh merupakan suatu kehinaan, maka tidak akan pernah ada penawaran diri dari seorang Ummahatul Mukminin, Siti Khadijah, untuk dinikahi oleh Rasulullah SAW melalui perantaranya saat itu. Bukankah dia ini sosok wanita yang mulia? Atau kita menganggap diri kita lebih mulia dari wanita ahli jannah seperti beliau?“ tegas sekali Mba Nizma menjawab pertanyaan tersebut.

“Kita tengok kisah lain, Maimunah Binti Harits. Dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah menikahinya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW. Bukankah itu juga merupakan tindakan yang cerdas dan mulia? Padahal saat itu usia beliau adalah 36 tahun sedangkan Rasulullah 60 tahun!”

Semua peserta kelihatan manggut-manggut tanda setuju.

“Jika ada diantara adek-adek yang malu melakukannya sendiri, insya Allah, teteh siap menampungnya!“ canda Teh Nizma sambil tersenyum penuh makna, “atau jika malu sama teteh, silahkan minta pada orang tuanya masing-masing untuk dijodohkan sama orang yang didambakan. Insya Allah, orang tua pun tidak akan pernah hina jika dia menawarkan putrinya sendiri kepada seorang laki-laki yang sholeh. Bukankah Umar Bin Khattab melakukan hal yang sama untuk putrinya, Hafsah, sehingga putri beliau menjadi seorang istri bagi baginda yang mulai Rasulullah SAW.“

Tatapan Teh Nizma berputar ke seluruh peserta.

“Selama prosedur penawarnya dilakukan dengan baik dan tata cara yang benar, tentu saja tidak ada larangan sama sekali untuk melakukan hal itu.“

Situasi mendadak hening. Semuanya terlihat merenung. Hanya senyum simpul yang semakin mengembang yang nampak di wajah Teh Nizma.

Entah kenapa, tiba-tiba saja dalam diriku muncul tekad yang kuat untuk mengutarakan permasalahanku pada Teh Nizma. Sungguh, aku ingin menawarkan diriku pada seorang Bidadara pujangga hatiku. Aku tidak akan pernah merasa malu. Ini lebih baik daripada aku menyesal seumur hidupku.

Setelah pengajian berakhir, kucoba untuk menghampiri Teh Nizma yang saat itu masih dikerubuti oleh teman-teman yang masih memberikan pertanyaan tambahan. Ada kecemburuan di hatiku melihat keberanian dan keterbukaan teman-teman terhadap murobbiyah pribadiku. Seandainya itu aku, sahutku pelan sambil melamun.

***

Halaman 5 dari 7
“Nisa, tolong jangan pulang dulu ya sebentar, saya ada perlu!“ teriak Mba Nizma agak keras memotong lamunanku.

“Oh….iya Mba!” jawabku setengah berteriak juga karena saat itu situasinya masih agak rebut oleh teman-teman yang salam-salaman sebelum pulang.

Akhirnya, tinggal kami berdua yang masih berada di Masjid ini. Dengan sedikit keraguan, aku pun mulai membuka pembicaraan sama Teh Nizma.

“Afwan Teh, …sebenarnya saya juga ada perlu sama teteh. Begini,…eh tapi silahkan teteh saja dulu!“

“Loh, kenapa? Silahkan Nisa aja dulu!“

“Ah engga deh, silahkan teteh dulu!“

“Baiklah kalau begitu, Nisa, di antara anak binaan teteh, masih ada dua orang yang belum menikah, hanya kamu dan Anis!“

Deg, jantungku berdegup keras mendengar kata-kata ini.

“Kalau Anis sebenarnya sudah beberapa bulan yang lalu menyatakan diri siap untuk menikah. Bahkan katanya dengan siapapun asal laki-lakinya sholeh, dia siap untuk menjadi pendamping hidupnya. Yah bisa dimengerti sih kondisi dia. Dia anak paling besar di keluarganya. Sementara dua adiknya yang perempuan sudah menikah. Jadi mungkin kriteria yang benar-benar ditonjolkannya adalah kesholehan laki-laki calonnya. Tapi, insya Allah, tentu saja teteh tidak akan mengabaikan hal-hal lainnya.“

Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan murobbiyahku itu.

“Nah teteh sama sekali bukan bermaksud mendesak kamu. Sungguh teteh hanya ingin mengetahui sikap kamu mengenai hal ini.“ Lanjut Teh Nizma.

“Enggak apa-apa kok teh. Insya Allah, saya mengerti kondisi ini.“

***

Halaman 6 dari 7
“Begini, sebenarnya teteh mendapatkan seorang calon suami yang insya Allah kita sama-sama mengetahui bagaimana perjuangan beliau dalam dakwah ini. Sosok laki-laki yang mampu berprestasi di kampusnya walau dirinya benar-benar disibukkan dalam aktifitas dakwah.“ Terang Teh Nizma. Aku pun hanya terdiam menjadi pendengar yang baik sambil menebak-nebak sosok yang dimaksud.

“Sebenarnya sosok laki-laki tersebut sudah ditawarkan ke Anis tiga minggu yang lalu. Saat itu dia bilang akan mempertimbangkannya dan minta waktu selama satu minggu. Tapi dari sorot matanya terlihat ada binar-binar kegembiraan yang luar biasa. Namun entah kenapa satu minggu kemudian tiba-tiba saja dia menolaknya. Nah, sekarang tinggal Nisa anak binaan teteh yang belum nikah. Jika tidak bersedia, saya akan coba berinteraksi dengan murobbiyah yang lain, bagaimana?”

Aku berfikir keras mendengar tawaran tersebut. Sebenarnya aku sendiri saat ini tidak mau ditawari oleh orang lain. Bahkan oleh murobbiyah atau orang tuaku sendiri. Sungguh hatiku saat ini tidak bisa menerima ikhwan lain selain teman lamaku. Si penulis surat yang tak pernah mampu ku jawab. Dialah yang senantiasa mengisi ruang hatiku.

“Bagaimana ukh, kalau berminat, saya akan menunjukan biodata berikut foto dari yang bersangkutan sekarang?“ tanya Teh Nizma.

“Mmm…sebenarnya begini, afwan…saya sudah…eh, nggak, …” aku benar-benar kebingungan untuk menyampaikan hal itu.

“Baik, kalau belum siap juga tidak apa-apa kok.” Senyuman tersungging di bibir Teh Nizma.

“Eh maksud saya begini teh. Boleh nggak saya melihat biodatanya sekarang?” tanyaku konyol.

“Wah, Anis ini gimana sih, kan tadi teteh juga bilang memang mau diberikan sekarang, aneh juga ya!” Jawabah Teh Nizma yang membuatku semakin gugup.

Satu lembar amplop putih dikeluarkan dari tas hitam Teh Nizma. Dia serahkan amplop tersebut disertai dengan tatapannya yang tajam ke arahku. Dengan tangan bergetar, kuterima amplop itu.

“Silahkan mau dibuka di sini atau di rumah juga tidak apa-apa!”

***

Halaman 7 dari 7
“Eh nggak teh, di sini saja.” Jawabku. Sengaja aku tidak ingin menundanya karena saat ini juga keinginanku begitu menggebu untuk memberitahukan calon pilihanku sendiri.

Tanganku semakin bergetar ketika perlahan amplop tersebut kubuka. Kebetulan yang kubaca adalan baris terakhir dari tulisan pemberi amplop.

Pasangan yang diinginkan adalah sesosok calon bidadari yang akan menghantarkan dan menyertaiku hingga jannah-Nya.

Sebelum sempat kubaca bagian-bagian lainnya, tiba-tiba ada satu lembar foto yang jatuh tepat dipangkuanku.

Ya Rabb! subhanallah…! Sungguh tiada kata-kata yang keluar saat itu kecuali pujian agung atas-Mu. Foto tersebut adalah sosok yang ku impikan selama ini.

“Bagaimana Ukh?” Tanya Teh Rizma.

Aku tidak mampu menjawab. Hanya uraian air mata syukur yang kian deras mengalir.

“Ingat loh Ukh, diamnya seorang gadis itu tanda setuju!” Teh Nizma semakin menggodaku,

”Sebenarnya ikhwan yang bersangkutan sudah mengetahui seminggu yang lalu mengenai siapa calon akhwat yang akan menerima amplop ini. Ketika itu, tanpa kami duga, ikhwan tersebut langsung bersujud sambil menangis dia berdoa pelan. Sepertinya dia sangat berharap tuh!“

Aku semakin memaku. Diam dalam uraian air mata. Perlahan ku buka bagian atas biodata tersebut. Di sana tertulis suatu harapan dan tawaran;

Sepenggal khitbah buat akhwatfillah

Rabb!!..Aku langsung tersujud. Rasa syukur ini begitu membucah. Sehingga tak cukup rasanya bibir ini memuji-Mu. Di tempat suci ini, aku bersujud pada-Mu sebagai rasa syukur atas nikmat yang tiada pernah mampu kami ukur.

“Robbi auzi’nii an asykura ni’matakallatii an’amta ´alayya wa’alaa waa lidayya wa an-a’mala shaalihan tardhaahu wa adkhilnii birohmatika fii ´ibaadikashshaalihiin, amin.”

.::.
Sumber: Oaseiman|Ditulis oleh Yudhie andriyana dengan editan kata seperlunya.
.::.

1 komentar:

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"