Saturday 19 April 2008

Kemiskinan Dan Ritual Mewah

Putu Setia, Kemiskinan Dan Ritual Mewah
Ironis sekali, angka kemiskinan di Bali terus meningkat dari tahun ketahun. Pulau Bali yang dijuluki Pulau Sorga, Pulau Dewata, dan entah apalagi, kini merana karena salah urus. Konsep pembangunannya tidak jelas. Tidak ada kebijakan yang strategis tentang masa depan Pulau ini.

Yang lebih tragis lagi angka kemiskinan juga muncul di pinggir-pinggir kawasan wisata. Nelayan Bali di Bualu dan Benoa misalnya, tetap terhimpit beban hidup karena sulitnya mencari sumber penghasilan.

Sementara pantai mereka sudah “tergadaikan” kepada hotel-hotel besar dan mereka tak mendapat apapun dari gurita pariwisata ini. Jadi sama sekali tidak benar, kawasan wisata memberikan perbaikan hidup untuk lingkungan masyarakat sekitarnya.

Inipun bisa dilihat dikawasan kuta. Selintas nampak masyarakat hidup berkecukupan. Tapi masyarakat mana? Bukan masyarakat Bali, mereka adalah pendatang yang memang lebih tangguh. Penduduk pendatang di Kuta sudah melebihi dari penduduk asli.
Pertumbuhan penduduk pendatang memang sangat luar biasa di Kabupaten Badung da Kodya Denpasar. Bisa jadi ramalan orang bahwa di tahun 2010 jumlah orang Bali yang beragama Hindu sudah kalah dibandingkan dengan jumlah pendatang yang umumnya beragama Islam, terutama di Kodya Denpasar da Kabupaten Badung. Dengan begitu suatu saat ada kabupaten di Bali yang memberlakukan syariat Islam.

Kemiskinan di pedesaan juga semakin kentara. Sudah banyak gelanangan dan pengemis (gepeng) yang ternyata adalah orang Bali pedesaan. Mereka sudah tidak tahan mengalami tekanan hidup dan lari ke tengah kota menadahkan tangannya untuk meminta-minta. Sementara pekerjaan yang tabuh dilakukan orang Bali di masa lalu, seperti menjadi pelacur sekarang sudah mulai “dikerjakan” wanita muda Bali, apalagi pemerintah memperkenalkan istilah Pekerja Seks Komersial.

Adakah orang-roang Bali yang serius membantu mereka? Mungkin ada, tetapi jumlahnya tidak banyak, dan jauh dibandingkan dengan selayaknya. Yang justru banyak membantu orang-orang Bali yang miskin ini adalah yayasan atau lembaga yang bernapaskan agama bukan Hindu, dan yang paling gencar adalah yayasan atau lembaga dari kalangan Kristiani, apa boleh buat ini harus disebutkan. Tentu saja, secara formal bantuan mereka itu tidak ada kaitannya dengan agama, misalnya, dibantu tetapi harus pindah agama. Tidak seformal itu. Mereka membantu berdasarkan alasan kemanusiaan. Cuma, lambat laun yang terjadi adalah beralihnya agama dan konon hal ini lebih disebabkan oleh orang Bali yang dibantu itu ingin “membalas jasa”, bukan dipaksa pindah agama. Bagaimana kebenaran sejatinya, tentu sulit untuk diketahui.

Diam-diam, selain yayasan yang bernapaskan Kristiani, ternyata yayasan atau lembaga yang bernapaskan Buddhis juga banyak bergerak”mengatasnamakan kemiskinan” di Bali. Seiring dengan semakin banyaknya muncul Vihara di Bali, gerakan kaum Buddhis ini “berjasa” menolong orang-orang miskin di Bali melalui lapangan pekerjaan.

Lalu, kemana orang-orang Bali yang beragama Hindu yang mempunyai ajaran Manusa Yadnya? Mereka melihat kemiskinan itu sebagai karma yang dibawa dari kehidupannya terdahulu, sehingga mereka tak perlu dibantu, mereka harus mengangkat harkat dirinya sendiri. Kalaupun ada orang Bali yang kaya dan mau menyumbang, mereka akan menyumbang pembangunan pura, atau menyumbang untuk ritual mecaru, pekelem, dan sebagainya, dibandingkan menolong sesame manusia. Ajaran Manusa Yadnya mereka yakini sebagai ritual semata-mata, yaitu nelu bulanan,otonan, mesangih, pewiwahan dan sebagainya. Bukan membantu sesame manusia untuk terbebas dari penderitaan hidup.

Ritual-ritual itupun dilakukan dengan serba mewah. Orang-orang kaya di Bali banyak memberi contoh bagaimana melaksanakan ritual dengan kemewahan. Mereka mendatangkan Sulinggih dalam jumlah banyak, membeli banten yang seabrek, membuat peralatan yang wah, dan waktu yang dihabiskan untuk ritual ini berhari-hari. Celakanya, perilaku orang kaya ini menjadi teladan dilapisan menengah, bahkan turun kebawah. Orang yang tidak punya, ikut-ikutan membuat ritual yang besar. Bisa dibayangkan apa yang kemudian dilakukannya, menjual harta warisan untuk membiayai ritual itu. Mereka pun menganggap hal ini tidak salah, malah sangat wajar dengan alasan: “warisan itu memang disiapkan oleh leluhur untuk ritual”.

Maka, kemiskinan terus menjalar di Bali. Kemiskinan yang sambung-menyambung karena biaya yadnya yang sangat tinggi. Orang-orang Bali menjual tanahnya untuk membeli janur, kelapa, itik, buah impor, sementara pedagang yang dating dari jawa memberikan pasokan barang itu dengan senang, sambil lambat laun membeli tanah-tanah orang Bali.

Sebenarnya pencerahan sudah banyak dilakukan oleh para Sulinggih agar umat Hindu di Bali mulai mengurangi biaya yadnya dengan membuat ritual yang sederhana. Namun, pencerahan para Sulinggih ini kalah karena masih ada Sulinggih lain yang dalam prakteknya sering muput upacara yang ritualnya besar. Bahkan mereka terlibat dalam karya itu. Ini sebuah lingkaran setan yang harus segera dihentikan. Perlu gerakan penyadaran dharma untuk menyelamatkan Bali.
(Putu Setia, Bali yang Meradang - Putu Setia dikenal kritis menyikapi agama, pendiri Ashram Manikgeni, Wakil Ketua Sabha Walaka. Buku yang langka dan penting untuk melihat perjalanan agama Hindu di Bali).

0 komentar:

Post a Comment

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"