Angin senja Tel Aviv tercampur debu. Kencang melintas di sela-sela
empat orang yang sedang berdiri di halaman sebuah rumah di suatu sudut
kota itu. Dua pasang suami istri -sepasang tua dan sepasang muda -
beberapa saat saling bertukar pelukan penuh haru.
Seorang wanita
muda kedua tangannya menggenggam lengan wanita tua. “Pergilah Ma! Ikut
bersama kami. Di New Jersey kalian akan hidup bahagia dengan cucu kalian
dan terhindar dari peperangan yang melelahkan ini.” Ujar wanita muda
kepada wanita tua yang ia memanggilnya mama.
Wanita tua itu berlinangan air mata. Mengalihkan pandangan pada laki-laki tua yang ada di sampingnya.
“Papa
dan Mama sudah bertekad untuk menghabiskan hidup di sini. Di tanah yang
telah dijanjikan tuhan pada kita.” Ujar lelaki tua.
“Setidaknya
untuk menghindari perang yang semakin buruk ini, Pa. Ikutlah bersama
kami. Setelah perang ini selesai, kalian bisa kembali ke sini.” Kali ini
laki-laki muda yang angkat bicara.
Lelaki tua menggeleng.
Dan
angin senja yang tercampur debu itu mengirimkan suara dentuman pada
mereka. Tertangkap di sudut mata mereka kilasan api yang meluncur ke
bumi menghantam sebuah gedung tinggi sekitar 500 meter jauhnya dari
tempat mereka berdiri. Ledakan besar dan bunga api bertaburan laksana
dedaunan Pohon Ghorqod yang dilempar kesana kemari oleh angin musim
dingin.
Suara sirine meraung-raung sejak semenit lalu. Banyak
orang berlarian menuju bunker menyelamatkan diri. Dan ada juga yang
memacu kendaraannya keluar kota. Namun di luar pagar rumah itu, sebuah
mobil terparkir menanti ke-empat insan selesai melepas haru.
“Kalian
pergilah! Taksi sudah menunggu. Lalu lintas sedang kacau dan macet
sekarang. Ada begitu banyak orang yang eksodus meninggalkan kota ini
melalui bandara dan pelabuhan. Jangan sampai kalian terlambat dan
ditinggal pesawat.” Ujar pria tua.
“Ayolah Ma, tinggalkan Tel Aviv hingga perang selesai.” Wanita muda mengangkat kedua tangan mamanya kedadanya. Memelas.
“Tidak. Pergilah sekarang!” Tegas pria tua.
Dan
suara klakson taksi berbunyi memanggil mereka. Hampir tak terdengar
akibat tersisipi suara dentuman lain dari suatu tempat. Sang supir pun
sudah bergidik ngeri ingin segera meninggalkan tempat itu.
Lelaki
muda kemudian mengangkat dua koper besar di tangan kanan dan kirinya.
Ia memasukkan barang bawaannya ke bagasi, lalu kembali menghampiri
istrinya untuk mengajaknya pergi.
Pasutri muda itu menyempatkan
diri melambaikan tangan sembari masuk ke dalam mobil. Hingga setelah
semuanya siap, sang supir menginjak gas dengan kecepatan tinggi menuju
bandara.
Gilad, seorang lelaki Yahudi tua, orang yang dipanggil
Papa oleh pasutri muda tadi memandang ke sekelilingnya dengan mata
berkaca. Hasrat ingin menyelamatkan diri memang ada, tapi kecintaannya
pada tanah Israel lebih utama. Ia lebih ingin bertahan di tanah yang ia
tempati sejak lama.
Menjadi yatim piatu setelah menyelesaikan
studinya di University of Nevada 40 tahun lalu, Gilad yang hampir
sebatang kara berjuang hidup untuk dirinya dan adik perempuannya. Dan
Gilad masih bujangan saat beberapa lama kemudian adiknya dinikahi oleh
seorang lelaki Yahudi asal Inggris yang mengajaknya tinggal di Israel,
tanah yang diidam-idamkan oleh umat Yahudi.
Gilad adalah seorang
insinyur mesin, bekerja di sebuah perusahaan otomotif. Adiknya telah
tinggal dua tahun di Yerussalem saat mengirimkan surat pada Gilad untuk
mengajaknya membangun negara kebanggaan umat Yahudi. “Pemerintah telah
memperluas tanah pendudukan dan membangun pemukiman-pemukiman baru di
Tepi Barat,” dalam surat itu. “Dan bangsa kita sekarang sedang
membutuhkan banyak tenaga kerja untuk membangun negara. Hiduplah di
sini, hingga akhir hayatmu!”
Diyakinkan oleh surat itu, Gilad
hijrah ke Yerussalem menempati sebuah rumah di kota Be’er Sheva. Kota
yang indah yang menempanya menjadi pekerja keras dengan penuh kecintaan
pada Negara Yahudi.
Karir Gilad cukup mentereng. Kerja kerasnya
berbuah rezeki yang melimpah sampai ia dibutuhkan untuk bekerja di ibu
kota Israel, Tel Aviv. Di sana lah ia bertemu jodohnya, Golda, seorang
wanita Yahudi asal Inggris. Mereka berdua hidup dengan mapan dan
memiliki dua orang anak.
Anak kedua mereka, seorang putri bernama
Hagar, adalah orang yang tadi mengajak mereka tinggal di New Jersey
bersama suaminya. Sedangkan putra pertamanya tinggal di kota Haifa,
sebelah utara kota Tel Aviv.
*****
Suara baku tembak
terdengar sangat dekat saat pasangan suami istri Yahudi tua sedang
menyantap makan malam mereka, mengalahkan suara sirine yang meraung di
penjuru kota. Golda, sang istri, berbicara pada suaminya, “tunggu apa
lagi? Ayo, sembunyi di bunker!”
“Tidak. Aku tidak mau kesana lagi. Terlalu kotor. Bahkan kotoran manusia bisa berserakan di sana.” Jawab Gilad, suaminya.
“Kita kemana?”
Gilad
menunjuk ke arah sebuah pohon yang rindang yang telah ditanam di
pekarangannya sejak 20 tahun lalu. “Kesana! Ghorqod akan melindungi
kita.”
Mereka berdua menyudahi makan malam mereka dengan segera
dan terburu-buru menyelinap ke dalam Pohon Ghorqod. Tapi begitu sampai
di Pohon itu, mereka terkejut melihat seseorang bersembunyi di dalamnya.
“Noam, sedang apa kamu di sini?” Tanya Gilad kepada tetangganya.
“Izinkan aku bersembunyi di sini. Di sini masih lapang untuk kalian berdua.” Pinta Noam.
“Tidak. Kami tidak mau berbagi dengan orang lain. Pergi!”
“Aku tidak mau pergi dari sini.”
Mendengar sikap keras kepala Noam, Gilad mengeluarkan sepucuk pistol dari saku bajunya. “Pergi!” ujarnya.
Melihat
sepucuk pistol itu, Noam terburu-buru keluar dari persembunyian. “Aku
harus sembunyi di mana? Aku tak mau mati!” Teriaknya sembari menangis.
“Mengapa
kamu tidak sembunyi di bunker? Terserah kamu sembunyi di mana. Di sana
ada puing reruntuhan rumah. Batu-batu itu akan menyembunyikanmu dengan
aman. Segera pergi!” Gilad menunjuk ke suatu tempat.
Berlari Noam menuju arah yang ditunjuk Gilad. Dan masing-masing orang sudah berada di tempat persembunyiannya.
Sementara
itu suara baku tembak terdengar lebih dekat. Pasukan Palestina berhasil
memasuki kota Tel Aviv. Bahkan mereka sudah mengirimkan pesan kepada
setiap penduduk Tel Aviv melalui SMS untuk segera meninggalkan kota
karena mereka akan merebutnya melalui pertempuran bersenjata.
Dari balik Pohon Ghorqod, Gilad melihat tank Merkava di persimpangan jalan tak jauh dari rumahnya.
“Kita akan aman. IDF akan menghabisi tentara Palestina.” Bisiknya pada Golda yang wajahnya terlihat pucat. Mencoba menenangkan.
Tapi
baru selesai Gilad mengucap kata-kata itu, sebuah tembakan terlihat
menuju sebuah reruntuhan puing, tempat bersembunyi Noam, disusul dengan
suara jeritan.
Mulut Golda menganga. “Bagaimana bisa? Bagaimana
bisa Noam tertembak padahal ia sudah bersembunyi di tempat yang tak
terlihat?” Tanya Golda pada suaminya.
“Diamlah. Saat ini tak ada
tempat yang lebih aman selain pohon ini. Batu dan pohon lain tidak bisa
dipercaya saat ini. Mereka akan memberitahu pasukan Palestina bahwa ada
yang bersembunyi di balik mereka.” Ujar Gilad penuh kepanikan.
Suasana
sangat mencekam. Di depan mata mereka kemudian terlihat Merkava
berhasil diledakkan oleh sebuah Rocket Propelled Grenade (RPG) anti
tank. Dan tak lama kemudian rumah mereka pun terkena ledakan. Runtuh di
salah satu sisinya meski tak mengenai pasangan suami istri Yahudi tua
itu yang sedang bersembunyi di balik Pohon Ghorqod.
Gilad dan
Golda bergetar menyaksikan pemandangan itu. Berpelukan, mereka berdua
menangis sejadi-jadinya. Rumah yang mereka bangun dan tempati
bertahun-tahun lamanya hancur sudah. Dan pasangan suami istri Yahudi tua
itu hanya bisa pasrah melihat api melalap rumah dan isinya. Sementara
suasana di luar semakin tak menentu. Api menyala di mana-mana. Dentuman
di mana-mana. Pesawat F-16 dan Helikopter Apache milik Israel
berjatuhan. Malam itu, saat awan mendung menelan bulan, begitu terang
oleh api yang dilentikkan oleh mesiu.
“Kita tak akan selamat.
Sampai kapan kita bersembunyi di pohon ini?” teriak Golda yang menangis
meratap. “Orang-orang Palestina itu akan merebut kembali tanah yang
sudah kita rebut dari mereka.”
Gilad melihat ke atas pada sebuah batang. Telah tergantung dua utas tali di sana.
“Istriku,
kita telah berjanji untuk mati di tanah ini. Kita berjanji untuk tidak
akan pernah pergi dari tanah ini walaupun harus mati. Tapi bukan mati
dengan cara dibunuh oleh muslim,” ujar Gilad.
Golda mengerti
maksud suaminya. Berdua mereka menggapai tali yang menjuntai yang
membentuk simpul dengan sebuah lubang sebesar kepala manusia. Mereka
memasukkan kepalanya ke dalam tali itu, dan memenuhi janjinya: mati di
tanah harapan.
******
Keterangan:
* Ghorqod adalah pohon milik umat Yahudi, sebagaimana yang Rasulullah sabdakan: “Tidak
akan terjadi kiamat sehingga muslimin memerangi yahudi. Mereka
diperangi oleh muslimin sehingga orang yahudi bersembunyi dibalik batu
dan pohon. Batu dan pohon itu berkata: Wahai muslim, wahai hamba Allah,
Ini dia yahudi berada dibelakangku, kemarilah dan bunuhlah dia.
Melainkan pohon Ghorqod. Sesungguhnya ia adalah daripada pohon Yahudi”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah meramalkan tentang peperangan antara Umat Muslim
melawan Yahudi di penghujung zaman, sampai-sampai Yahudi bersembunyi di
pohon dan batu atas serangan Umat Muslim. Namun hanya Pohon Ghorqod yang
sedikit aman buat mereka.
Saat ini pemerintah Israel tengah menggalakkan penanaman Pohon Ghorqod di negara mereka dengan berkedok reboisasi. (sumber: islamedia.web.id)