Dari para nabi hingga kita kini...
Ketika Rasululah hijrah dari Mekah, beliau meminta Ali ra untuk tinggal menggantikan beliau di tempat tidur. Bukan sebagai tumbal, tetapi untuk mengembalikan barang-barang titipan kaum kafir Quraisy yang selama ini dititipkan di rumah Rasulullah.
Lihatlah betapa pribadi menarik Rasulullah menjadikan musuhnya sekalipun menaruh kepercayaan yang luar biasa pada beliau. Sebagai seorang pribadi, beliau diterima di seluruh kalangan.
Terbukti, kaum kafir Quraisy pernah menawarkan jabatan, harta dan wanita terbaik mereka untuk beliau dengan syarat beliau berhenti berdakwah. Artinya seandainya Rasulullah saw bersedia meninggalkan dakwah, niscaya mereka tidak berkeberatan jika beliau menjadi salah satu pemimpin mereka.
Kalau kemudian mereka meludahi beliau, menyiksa sahabat-sahabatnya, memboikot dari perdagangan, menumpahi dengan isi perut onta, bahkan berkonspirasi untuk membunuhnya, tentu bukan karena pribadinya. Bukan karena akhlaqnya.
Bagaimana dengan Nabi Musa? Apa yang tidak beliau lakukan untuk kaumnya? Kaumnya minta minum, dipukulnya batu besar yang kemudian memancar darinya dua belas mata air untuk dua belas suku yang ada. Kaumnya meminta makan, berdoalah beliau hingga Allah menurunkan ‘manna’ dan ‘salwa’ sebagai pengenyang perut mereka. Lalu saat kaumnya menggigil ketakutan, terancam binasa oleh pasukan Fir’aun, beliau selamatkan mereka dengan izin Allah. Terbelahnya laut mati dan binasanya Fir’aun adalah jawaban doa beliau.
Tapi apa yang kaumnya lakukan saat beliau pergi menemui Allah barang 40 hari saja? Mereka mengkhianati ajaran beliau dengan mencipta sapi palsu untuk disembah. Jelaslah, bukan karena kurangnya pelayanan Nabi Musa kepada kaumnya yang menyebabkan mereka berkhianat.
Segala permusuhan yang timbul antara para Nabi dengan kaumnya tidak pernah terjadi karena kurangnya akhlak atau amal dari sang Nabi, tetapi karena mereka – para Nabi – mengajak kepada kebaikan, mencegah dari yang mungkar dan meng-Esakan Allah. Karena itu saja.
Maka sessngguhnya tidak pernah ada jaminan bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan pada mad’u kita akan menghantarkan mereka ke jalan Allah. Tidak bagi Nabi, apalagi buat kita.
Hidayah adalah hak prerogratif yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Jadi kalau saat ini antum sedang berbaik-baik pada binaan antum, atau teman sekelas antum, atau tetangga antum agar mereka berhutang budi kemudian berbalik dari jalan yang salah ke jalan lurus, saya katakan berhentilah. Bukan begitu seharusnya niatnya.
Karena niat seperti itu bisa menghantarkan pada satu bentuk tindakan keliru di masa datang. Sebagai misal, untuk mendekati seorang mad’u antum sering meminjami catatan kuliah, menraktir makan dan terkadang membantunya mengerjakan tugas. Tapi dari waktu ke waktu mad’u ini tidak juga berubah bahkan semakin jarang berangkat ngaji dan akhirnya tidak pernah berangkat lagi. Maka ketika suatu ketika ia ingin meminjam catatan dari antum lagi, antum tidak berikan. Bagaimanapun tindakan seperti ini tidak bisa dibenarkan. Apakah kita berbuat baik pada seseorang agar mendapatkan sesuatu darinya (entah kesetiaan, ketaatan, atau yang lainnya) atau ridha Allah semata? Coba kita renungkan.
Contoh lain, sebuah Partai Dakwah telah berusaha mati-matian mencari dana kesana kemari untuk memberikan santunan ala kadarnya kepada beberapa ibu rumah tangga bertaraf ekonomi rendah. Tapi ketika PEMILU tiba, ibu-ibu itu dengan sukarela menyerahkan suaranya kepada Partai kapitalis sarang koruptor karena uang beras yang jauh lebih besar. Apakah dibenarkan jika kemudian Partai Dakwah itu tidak menyalurkan santunannya pada ibu-ibu malang itu lagi? Tentu tidak.
Maka semua aktivitas dakwah kita harus dijaga dalam niat yang benar. Jangan sampai hanya untuk menghapus kesan eksklusif saja, atau menambah anggota saja. Karena jika terbatas pada itu, sesungguhnya yang itupun belum tentu kita dapatkan. Tetapi jika ridha Allah yang kita harapkan, dengan niat tulus dan konsistensi perjuangan, Insya Allah Allah akan berikan.
Dengan begitu tidak ada kata berhenti dari aktvitas dakwah dan amal meski hasil konkrit tidak kunjung tercapai. Tidak ada kecewa karena sikap manusia, dan yang lebih penting tidak ada putus asa karena penolakan manusia.
Seperti yang Allah firmankan:
.::.Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (QS. Al An’am: 90.).::.
*Sumber: Ummu Zufar (fb)
Ketika Rasululah hijrah dari Mekah, beliau meminta Ali ra untuk tinggal menggantikan beliau di tempat tidur. Bukan sebagai tumbal, tetapi untuk mengembalikan barang-barang titipan kaum kafir Quraisy yang selama ini dititipkan di rumah Rasulullah.
Lihatlah betapa pribadi menarik Rasulullah menjadikan musuhnya sekalipun menaruh kepercayaan yang luar biasa pada beliau. Sebagai seorang pribadi, beliau diterima di seluruh kalangan.
Terbukti, kaum kafir Quraisy pernah menawarkan jabatan, harta dan wanita terbaik mereka untuk beliau dengan syarat beliau berhenti berdakwah. Artinya seandainya Rasulullah saw bersedia meninggalkan dakwah, niscaya mereka tidak berkeberatan jika beliau menjadi salah satu pemimpin mereka.
Kalau kemudian mereka meludahi beliau, menyiksa sahabat-sahabatnya, memboikot dari perdagangan, menumpahi dengan isi perut onta, bahkan berkonspirasi untuk membunuhnya, tentu bukan karena pribadinya. Bukan karena akhlaqnya.
Bagaimana dengan Nabi Musa? Apa yang tidak beliau lakukan untuk kaumnya? Kaumnya minta minum, dipukulnya batu besar yang kemudian memancar darinya dua belas mata air untuk dua belas suku yang ada. Kaumnya meminta makan, berdoalah beliau hingga Allah menurunkan ‘manna’ dan ‘salwa’ sebagai pengenyang perut mereka. Lalu saat kaumnya menggigil ketakutan, terancam binasa oleh pasukan Fir’aun, beliau selamatkan mereka dengan izin Allah. Terbelahnya laut mati dan binasanya Fir’aun adalah jawaban doa beliau.
Tapi apa yang kaumnya lakukan saat beliau pergi menemui Allah barang 40 hari saja? Mereka mengkhianati ajaran beliau dengan mencipta sapi palsu untuk disembah. Jelaslah, bukan karena kurangnya pelayanan Nabi Musa kepada kaumnya yang menyebabkan mereka berkhianat.
Segala permusuhan yang timbul antara para Nabi dengan kaumnya tidak pernah terjadi karena kurangnya akhlak atau amal dari sang Nabi, tetapi karena mereka – para Nabi – mengajak kepada kebaikan, mencegah dari yang mungkar dan meng-Esakan Allah. Karena itu saja.
Maka sessngguhnya tidak pernah ada jaminan bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan pada mad’u kita akan menghantarkan mereka ke jalan Allah. Tidak bagi Nabi, apalagi buat kita.
Hidayah adalah hak prerogratif yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Jadi kalau saat ini antum sedang berbaik-baik pada binaan antum, atau teman sekelas antum, atau tetangga antum agar mereka berhutang budi kemudian berbalik dari jalan yang salah ke jalan lurus, saya katakan berhentilah. Bukan begitu seharusnya niatnya.
Karena niat seperti itu bisa menghantarkan pada satu bentuk tindakan keliru di masa datang. Sebagai misal, untuk mendekati seorang mad’u antum sering meminjami catatan kuliah, menraktir makan dan terkadang membantunya mengerjakan tugas. Tapi dari waktu ke waktu mad’u ini tidak juga berubah bahkan semakin jarang berangkat ngaji dan akhirnya tidak pernah berangkat lagi. Maka ketika suatu ketika ia ingin meminjam catatan dari antum lagi, antum tidak berikan. Bagaimanapun tindakan seperti ini tidak bisa dibenarkan. Apakah kita berbuat baik pada seseorang agar mendapatkan sesuatu darinya (entah kesetiaan, ketaatan, atau yang lainnya) atau ridha Allah semata? Coba kita renungkan.
Contoh lain, sebuah Partai Dakwah telah berusaha mati-matian mencari dana kesana kemari untuk memberikan santunan ala kadarnya kepada beberapa ibu rumah tangga bertaraf ekonomi rendah. Tapi ketika PEMILU tiba, ibu-ibu itu dengan sukarela menyerahkan suaranya kepada Partai kapitalis sarang koruptor karena uang beras yang jauh lebih besar. Apakah dibenarkan jika kemudian Partai Dakwah itu tidak menyalurkan santunannya pada ibu-ibu malang itu lagi? Tentu tidak.
Maka semua aktivitas dakwah kita harus dijaga dalam niat yang benar. Jangan sampai hanya untuk menghapus kesan eksklusif saja, atau menambah anggota saja. Karena jika terbatas pada itu, sesungguhnya yang itupun belum tentu kita dapatkan. Tetapi jika ridha Allah yang kita harapkan, dengan niat tulus dan konsistensi perjuangan, Insya Allah Allah akan berikan.
Dengan begitu tidak ada kata berhenti dari aktvitas dakwah dan amal meski hasil konkrit tidak kunjung tercapai. Tidak ada kecewa karena sikap manusia, dan yang lebih penting tidak ada putus asa karena penolakan manusia.
Seperti yang Allah firmankan:
.::.Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (QS. Al An’am: 90.).::.
*Sumber: Ummu Zufar (fb)
0 komentar:
Post a Comment
Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com
Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"