Thursday, 4 February 2010

Mewaspadai Penyimpangan Amil Zakat

PERINTAH membayar zakat dalam Alquran datang dalam bentuk yang sangat mujmal (garis besar), lebih mujmal daripada perintah salat. Dalam Alquran, tidak dirinci jenis-jenis harta yang wajib dizakati, syarat-syarat yang harus dipenuhi harta itu seperti nisab dan masa kepemilikan yang sudah berlangsung setahun (haul), serta jumlah yang harus dibayarkan sebagai zakat. Pengaturan soal-soal rinci seperti itu diserahkan kepada al-Sunnah.

Namun, menyangkut pihak-pihak yang berhak menerima zakat (mustahiq), Alquran merincinya (dalam surat al-Taubah: 60) dengan lengkap satu demi satu dalam suatu redaksi ayat yang menunjukkan arti qashr (terbatas untuk yang disebutkan, tidak boleh untuk selainnya). Alquran sangat menekankan terwujudnya pendistribusian zakat secara tepat kepada orang yang berhak (mustahiq)-nya. Di antaranya kepada para amil (pekerja) zakat.

Undang-Undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) Tahun 1999 memosisikan amil sebagai pengelola zakat dengan tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat. Dengan posisi rangkap seperti itu, sebagai pengelola dan sebagai mustahiq, amil berada pada posisi yang rawan penyimpangan.

Karena itu, UUPZ mengantisipasinya dengan menggariskan ketentuan tentang sanksi, yaitu pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat harta zakat atau mencatat dengan tidak benar diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30 juta. Selain itu, posisi rangkap amil sebagai pengelola sekaligus sebagai mustahiq zakat adalah wilayah yang masih cukup terbuka bagi tindak penyimpangan oleh amil.


Amil Mustahiq Dominan

Dengan otoritas yang dimiliki, amil sangat berpeluang menjadikan dirinya sebagai mustahiq dominan. Amil merupakan mustahiq yang bisa memastikan dirinya mendapatkan bagian serta menentukan jumlah bagiannya, sedangkan mustahiq lain tidak memiliki kepastian seperti itu. Bisa saja dia tergoda untuk mewujudkan kepentingan subjektifnya tersebut dengan relatif leluasa dan bahkan dengan yang tampak legal.

Setahun lalu, dalam suatu sesi pertemuan amil zakat di Jawa Timur, seorang narasumber dari salah satu lembaga manajemen zakat Jakarta menyatakan dengan sangat antusias bahwa pekerjaan mengurus zakat sekarang ini telah menjadi profesi yang sangat "menjanjikan". Sekarang, katanya, gaji manajer lembaga amil zakat sudah ada yang setara dengan gaji manajer perusahaan nasional.

Dengan regulasi yang sangat longgar dari UUPZ, jika mau, amil bisa mudah mengelola zakat yang berorientasi pada kesejahteraan dirinya sebagai mustahiq. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila seorang pekerja dipersilakan menentukan sendiri jumlah gajinya? Ya, seperti yang telah disinggung tadi, seorang manajer lembaga amil zakat (yang kerjanya menghimpun harta amal dan kemudian menyalurkannya) menentukan gaji dirinya setara dengan gaji manajer perusahaan nasional.

Padahal, manajer perusahaan pasti dituntut bekerja keras supaya perusahaannya bisa meraih untung dan terhindar dari risiko rugi. Sedangkan manajer lembaga amil zakat bisa dibilang tidak berisiko rugi. Sudah kerjanya tanpa risiko, gajinya ditentukan sendiri pula. Luar biasa "profesional", bukan?

Yang lazim jadi payung kaum "profesional" zakat itu selama ini adalah bagian "seperdelapan". Jelasnya, karena amil itu salah satu di antara delapan mustahiq zakat yang disebutkan Alquran, bagian yang menjadi hak amil adalah seperdelapan. Memang benar bahwa Alquran menetapkan amil sebagai salah satu di antara delapan mustahiq zakat. Tapi, Alquran sama sekali tidak menyinggung kadar bagian masing-masing. Bahkan, al-Sunnah pun tidak menetapkan kadar bagian tersebut.

Bagian seperdelapan untuk amil, dengan demikian, tidaklah berdasar Alquran atau sunah, tetapi hanyalah tafsiran yang tampak logis dan sangat menarik bagi sebagian orang yang memandang kerja menjadi amil sebagai profesi yang sangat "menjanjikan".

Padahal, bagi orang yang mau berpikir jernih, penyamarataan bobot semua golongan mustahiq zakat itu akan tampak sebagai tindakan yang sama sekali tidak proporsional dan jauh dari mencerminkan keadilan.

Mari kita buat ilustrasi untuk lebih menggambarkan ketidakadilan tersebut. Kita misalkan di suatu wilayah kabupaten terdapat 3.000 orang miskin. Jumlah pengurus amil zakat di sana 30 orang. Misalnya, amil zakat mengambil bagian seperdelapan senilai Rp 300 juta. Berarti, masing-masing anggota amil akan meraup bagian rata-rata Rp 10 juta. Jika jumlah yang sama, yakni Rp 300 juta, dibagikan kepada 3.000 orang miskin, setiap orang miskin hanya akan memperoleh Rp 100 ribu saja. Padahal, arahan Rasulullah SAW: "Zakat dipungut dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang fakir."

Dengan begitu, kita butuh peraturan perundang-undangan yang lebih kuat dalam meregulasi zakat. Jelasnya, yang tidak hanya membendung tindakan penyimpangan oleh amil pada aspek pencatatan, tetapi juga pada aspek-aspek yang lain. Juga, yang mereposisi lembaga amil zakat secara mendasar supaya tidak menjadi begitu dominan seperti sekarang.

Amil, menurut penulis kitab Kifayah al-Akhyar (vol 1: 190), adalah "orang yang dipekerjakan oleh imam (pemerintah) untuk memungut zakat guna disalurkan kepada para mustahiq-nya sebagaimana yang diperintahkan Allah." Jadi, hak pengelolaan zakat itu ada di tangan pemerintah. Maka, gaji amil harus diatur dan ditentukan pemerintah.

Jadi, UUPZ perlu didukung dan diperkuat oleh peraturan pemerintah atau peraturan menteri tentang sistem penggajian amil. Jika amil dibiarkan menentukan sendiri gajinya seperti sekarang, bisa saja zakat tak akan bisa berfungsi signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum miskin.


Menimbun Zakat

Menimbun harta zakat boleh dibilang sebagai bentuk penyimpangan lain dari lembaga amil zakat. Umumnya, lembaga amil begitu bersemangat dalam menghimpun harta zakat dan jumlah perolehannya itu sering menjadi tolok ukur prestasi. Tetapi, kerap kinerja amil zakat di bidang penyaluran masih belum seimbang dengan penghimpunannya. Bahkan, di tengah kondisi jumlah orang miskin yang terus meningkat, ada lembaga amil yang menyimpan (baca: menimbun) sekian persen dana zakat yang diamanahkan para wajib zakat kepada mereka untuk disalurkan.

Mu’az bin Jabal yang ditugasi khalifah Umar bin Khattab untuk mengurus zakat di Negeri Yaman selalu menuntaskan (baca: menghabiskan) pendayagunaan serta pendistribusian zakat yang dikumpulkannya. Pernah terjadi masih ada sisanya. Maka, Mu’az segera mengirimkannya ke Madinah (tidak menimbunnya). Khalifah Umar menolak menerima sisa itu dengan teguran: "Engkau pungut dari orang-orang kaya mereka, maka engkau harus mengembalikannya kepada orang-orang fakir mereka."

Mu’az menjawab: "Saya tidak akan membawanya kemari kalau di sana masih ada yang berhak mengambilnya" (Kasysyaf al-Qina’, vol 3: 264).

Kita perlu membentuk manajer lembaga amil zakat sekualitas Mu’az bin Jabal melalui regulasi zakat yang lebih ketat dan lebih berpihak pada kepentingan para fakir miskin. Wallahu a’lam.

.::.OLEH: Abd. Salam Nawawi.::.
Sumber: jawa pos, 22 Okt 2006
*Penulis adalah Ketua Komisi Pengawas Badan Amil Zakat Provinsi Jawa Timur, dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel.
.::.Kiriman email dari mas Naryo.::.


1 komentar:

  1. salam super-
    subhanallah-
    saya berlindung dari segala amal jahat saya...
    nice info mas..

    ReplyDelete

Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com

Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"