Ngayah Adat - Ngayah menurut seorang tokoh Adat adalah Kerja Bakti untuk berbagi keperluan, apa itu urusan ritual keagamaan ataupun masalah sosial kemasyarakatan. Siapapun yang terlibat ngayah tidak mendapatkan upah alias gratis.
Sangat menarik ketika saya mencermati tulisan W.Sumatika di media cetak terbesar di Bali (Bali Post) tanggal 12 Januari 2008 tentang adanya indikasi “menggugat” aturan Adat yang selama ini sangat disakralkan. Tulisan yang mengambil tema yang cukup berani, yaitu “Belenggu Adat mengungkung Potensi Profesionalisme Manusia Bali? Dengan mengambil beberapa pendapat dua nara sumber yaitu Peneliti dan Konsultan Adat Bali Wayan P. Windia dan pemerhati masalah hukum, politik, agama dan sosial budaya Bali IDG Ngurah Swastha.
Belakangan ini banyak krama Bali yang merasakan bahwa aturan adat yang sangat ketat berpengaruh dalam menghambat profesionalisme. Sehingga diyakini bahwa manusia Bali sendiri sebagai tenaga kerja yang notabene penduduk asli Bali kalah bersaing dengan tenaga kerja asing atau pendatang, setidaknya pada level manajer ke atas. Alasannya adalah karena seringnya kegiatan adat yang terpaksa harus meninggalkan kantor atau bolos. Padahal sebagai manajer sebuah hotel, misalnya harus setiap saat memimpin rapat dengan stafnya atau mengikuti rapat dengan direksi. Hal ini karena ngayah adat yang selama ini dipakai merupakan budaya Agraris, sedangkan sekarang Bali telah menuju budaya non agraris, yaitu budaya industri dan jasa, sehingga dalam pelaksanaannya dianggap sangat memberatkan.
Seperti makan buah simalakama, Tidak ikut ngayah berarti telah meninggalkan kewajiban adat tapi Ikut ngayah resikonya mempertaruhkan karir di perusahaan tempat mereka mencari kehidupan.
Wayan P. Windia - menegaskan: Hakikat pelaksanaan kehidupan beragama di Bali ditopang oleh dua aktifitas penting yakni pawedalan (urunan) dan ayah-ayahan (gotong royong). Dalam budaya non agraris kewajiban Ngayah bisa disesuaikan dengan cara: pawedalan yang diperbesar, sedangkan ayah-ayahan bisa diperingan.
"Saya rasa kesibukan kerja itu hanya pengkambing-hitaman semata. Itu karena dia memang malas, tidak mau terjun ke adat, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan gotong-royong juga tidak pernah madana punia. Kendati begitu saya juga sepakat jika sanksi Kasepekang itu tidak diberlakukan lagi dan digantikan dengan sanksi adat yang lebih mendidik dengan tetap memberikan peluang seluas-luasnya bagi krama untuk memperbaiki kesalahannya," kata Swastha yang dibenarkan oleh Windia.
**Kasepekang = Pengucilan
Sangat menarik ketika saya mencermati tulisan W.Sumatika di media cetak terbesar di Bali (Bali Post) tanggal 12 Januari 2008 tentang adanya indikasi “menggugat” aturan Adat yang selama ini sangat disakralkan. Tulisan yang mengambil tema yang cukup berani, yaitu “Belenggu Adat mengungkung Potensi Profesionalisme Manusia Bali? Dengan mengambil beberapa pendapat dua nara sumber yaitu Peneliti dan Konsultan Adat Bali Wayan P. Windia dan pemerhati masalah hukum, politik, agama dan sosial budaya Bali IDG Ngurah Swastha.
Belakangan ini banyak krama Bali yang merasakan bahwa aturan adat yang sangat ketat berpengaruh dalam menghambat profesionalisme. Sehingga diyakini bahwa manusia Bali sendiri sebagai tenaga kerja yang notabene penduduk asli Bali kalah bersaing dengan tenaga kerja asing atau pendatang, setidaknya pada level manajer ke atas. Alasannya adalah karena seringnya kegiatan adat yang terpaksa harus meninggalkan kantor atau bolos. Padahal sebagai manajer sebuah hotel, misalnya harus setiap saat memimpin rapat dengan stafnya atau mengikuti rapat dengan direksi. Hal ini karena ngayah adat yang selama ini dipakai merupakan budaya Agraris, sedangkan sekarang Bali telah menuju budaya non agraris, yaitu budaya industri dan jasa, sehingga dalam pelaksanaannya dianggap sangat memberatkan.
Seperti makan buah simalakama, Tidak ikut ngayah berarti telah meninggalkan kewajiban adat tapi Ikut ngayah resikonya mempertaruhkan karir di perusahaan tempat mereka mencari kehidupan.
Wayan P. Windia - menegaskan: Hakikat pelaksanaan kehidupan beragama di Bali ditopang oleh dua aktifitas penting yakni pawedalan (urunan) dan ayah-ayahan (gotong royong). Dalam budaya non agraris kewajiban Ngayah bisa disesuaikan dengan cara: pawedalan yang diperbesar, sedangkan ayah-ayahan bisa diperingan.
"Saya rasa kesibukan kerja itu hanya pengkambing-hitaman semata. Itu karena dia memang malas, tidak mau terjun ke adat, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan gotong-royong juga tidak pernah madana punia. Kendati begitu saya juga sepakat jika sanksi Kasepekang itu tidak diberlakukan lagi dan digantikan dengan sanksi adat yang lebih mendidik dengan tetap memberikan peluang seluas-luasnya bagi krama untuk memperbaiki kesalahannya," kata Swastha yang dibenarkan oleh Windia.
**Kasepekang = Pengucilan
0 komentar:
Post a Comment
Alim Mahdi adalah Founder www.mastersop.com
Konsultan SOP dan Penggagas "GERAKAN PENGUSAHA SADAR SOP"